Ads Header

Pages

gus dur

gus dur

Senin, 18 April 2011

Aturan Pilkades Akan Direvisi

Komisi II DPR mengusulkan agar tata cara pemilihan kepala desa (pildes) menjadi salah satu poin penting yang dimasukkan di revisi UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Alasannya, pilkades dinilai kurang efisien dan terlalu menghambur-hamburkan dana.

"Kalau saya perhatikan tata cara pilkades saat ini tidak efektif. Calon kadesnya harus menyediakan dana besar untuk menarik simpati masyarakatnya. Padahal berapa sih gaji seorang Kades?," kata anggota Komisi II DPR Andi Yuliani Paris dalam rapat dengar pendapat Komisi II dengan Mendagri Mardiyanto di gedung DPR, Senayan, Rabu (3/6).

Menurut politisi perempuan dari Partai Amanat Nasional itu, pilkades merupakan praktek demokrasi di tingkat desa yang sangat boros. "Bukan apa-apa, tapi sayang saja untuk jadi Kades harus menjual ternak sampai kebon," ucapnya.

Menanggapi usulan itu, Mendagri Mardiyanto menyatakan, pemerintahan desa memang unik. Salah satunya terlihat pada tata cara pilkadesnya. Seorang calon kades yang akan mendatangkan massa harus membiayai seluruh akomodasinya.

"Misalnya dari kampung A, simpatisannya naik ojek, maka calon Kadesnya harus membayar uang ojeknya termasuk konsumsi," ucap mantan Gubernur Jawa Tengah itu memberi contoh. Anehnya meski mengeluarkan dana banyak, minat orang desa untuk ikut pilkades tetap banyak. Karena itu Mendagri menyatakan, pihaknya memberikan keleluasaan pada desa untuk ikut sesuai aturan yang sudah ada.

"Tahun ini kita biarkan saja Pilkades sesuai tata cara desa, tapi untuk 2010 akan kita coba meninjau kembali dan memasukkan dalam revisi UU 32 Tahun 2004," pungkasnya. Rencananya, UU No.32 Tahun 2004 akan direvisi dan dipecah menjadi tiga UU, yakni UU pemerintahan daerah, UU pilkada, dan UU pemerintahan desa.
Read more

ANALISIS POLITIK Revisi Undang-undang Politik Maswadi Rauf Guru Besar FISIP Universitas Indonesia

Pada masa-masa sebelumnya, pemerintah dan DPR melakukan kajian dan revisi terhadap undang-undang politik sebelum penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Hal yang sama perlu dilakukan dalam menghadapi Pemilu 2009 yang tinggal tiga tahun lagi. Kajian yang berujung pada revisi undang-undang politik perlu dilakukan karena penyelenggaraan pemilu berikutnya serta kedudukan lembaga-lembaga legislatif dan peran/status partai politik (parpol) diharapkan lebih baik dibanding masa sebelumnya.

Tentu saja kajian dan revisi tersebut dilakukan berdasarkan pengalaman yang diperoleh selama pelaksanaan undang-undang politik. Banyak sekali revisi yang perlu dilakukan agar pemilu dan kehidupan politik lain di Indonesia dapat diperbaiki, sehingga pelaksanaan demokrasi berjalan lebih baik.

Ada lima undang-undang politik yang harus dikaji dan kemudian direvisi. Kelimanya adalah UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Susduk (Susunan dan Kedudukan) MPR, DPR, DPD, dan DPRD, UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), dan undang-undang yang mengatur pemilihan kepala daerah (pilkada), yaitu UU Pemerintahan Daerah.

Sejak awal Orde Baru, bangsa Indonesia telah mengenal tiga undang-undang politik, yakni UU Pemilu, UU Susduk, dan UU Partai Politik yang digunakan dalam mengatur penyelenggaraan pemilu dan keberadaan lembaga perwakilan rakyat dan partai politik. Undang-undang politik kemudian bertambah menjadi lima pada masa pasca-Orde Baru dengan berkembangnya keinginan mengadakan pemilihan presiden/wakil presiden dan kepala daerah secara langsung.

Revisi ketiga undang-undang politik itu adalah juga yang pertama diselesaikan tahun 2002 dan tahun 2003 karena memang naskah undang-undang ketiganya sudah ada dan telah digunakan dalam Pemilu 2004.

Kasus Pemilu 2004 menunjukkan tersedianya waktu lebih kurang setahun untuk mempersiapkan pemilu.

Memang, dengan segala susah-payah, pemilu berhasil dilakukan. Namun keterbatasan waktu membuat pelaksanaan pemilu dapat dianggap tidak wajar dan senantiasa berada dalam keadaan tertekan dan mendesak. Waktu yang tersedia terlalu pendek untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilu. Terbatasnya waktu sering digunakan oleh KPU untuk melakukan berbagai tindakan darurat yang kadang-kadang bertentangan dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Kondisi seperti ini tentu saja tidak baik bagi penyelenggaraan pemilu sehingga harus dicegah agar tidak terjadi dalam Pemilu 2009.

Ada yang berpendapat bahwa revisi undang-undang pemilu sebaiknya diselesaikan pada pertengahan tahun 2007. Ini adalah sesuatu yang ideal karena dengan demikian tersedia waktu lebih kurang dua tahun untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilu. Persoalannya, apakah pemerintah dan DPR bisa menyelesaikan revisi kelima undang-undang politik dalam waktu kurang dari setahun?

Waktu yang tersedia bagi pemerintah dan DPR adalah terlalu pendek. Padahal ada lima undang-undang yang harus diselesaikan dan ada banyak sekali masalah dalam kelima undang-undang tersebut yang harus diselesaikan. Tentu saja banyak sekali isu kontroversial di dalamnya yang memerlukan waktu cukup panjang untuk berdiskusi dan berdebat.

Karena itu, perlu dibuat rencana kerja yang lebih realistis dalam proses revisi undang-undang politik ini. Untuk menyediakan waktu yang lebih banyak dibanding Pemilu 2004, perlu dibuat rencana kerja revisi undang-undang politik yang dapat menyelesaikan revisi paling lambat akhir tahun 2007. Jadi, dari sekarang, masih ada waktu setahun lebih beberapa bulan bagi DPR dan pemerintah untuk membahas kelima undang-undang politik. Waktu yang tersedia diperkirakan cukup banyak untuk menuntaskan revisi. Itu pun dengan persyaratan bahwa pemerintah dan DPR bekerja keras mulai dari sekarang dengan membahas dan memperdebatkan masalah-masalah yang harus direvisi.

Seperti masa-masa sebelumnya, inisiatif harus dimulai dari pemerintah untuk membahas kelima undang-undang politik ini. Anggota DPR tinggal membaca rancangan undang-undang yang dihasilkan untuk kemudian menentukan pendapat dan masukan wakil rakyat.

Bila pemerintah dan DPR dapat menyelesaikan revisi kelima undang-undang politik pada akhir tahun 2007, KPU yang baru mempunyai waktu lebih kurang satu setengah tahun untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif (pilpres dan pilkada). Waktu yang tersedia ini lebih panjang dibanding kasus Pemilu 2004 yang hanya lebih kurang satu tahun, dan jauh lebih panjang dari waktu persiapan Pemilu 1999 yang hanya kurang dari enam bulan. Dengan demikian, terjadi penambahan waktu yang cukup berarti bagi KPU untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan bagi penyelenggaraan pemilu.

Yang harus dicegah adalah berlarut-larutnya proses revisi undang-undang politik sehingga pembahasan baru selesai pada awal atau pertengahan tahun 2008. Kelihatannya itu bukan tidak mungkin mengingat kesulitan anggota DPR untuk mencapai kesepakatan, di samping adanya penolakan terhadap pemungutan suara (voting). Dapat diperkirakan bahwa perdebatan di DPR kembali menghangat. Beberapa fraksi mempertahankan pendapat dengan kuat dan tidak bersedia menerima pendapat fraksi lain. Bila ini terjadi berkepanjangan, dapat diramalkan bahwa penyelesaian revisi undang-undang politik mengalami keterlambatan lagi.

Mengingat pemilu legislatif dan pilpres sudah diatur dalam undang-undang tersendiri, ada baiknya pilkada juga diatur dalam undang-undang tersendiri, yakni UU Pilkada. Ini berarti, ketentuan tentang pilkada yang sekarang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah harus dikeluarkan dari undang-undang tersebut dan dijadikan undang-undang tersendiri.

Sebenarnya tidak wajar bila ketentuan tentang pilkada diatur dalam UU Pemerintahan Daerah karena pilkada bukan masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah. Di samping itu, juga harus dilakukan perubahan persepsi pemerintah yang menganggap pilkada bukan pemilu. Pilkada adalah pemilu karena memenuhi semua persyaratan pemilu, yakni pemilihan pejabat publik (pemerintah) dan pemilih adalah semua orang yang berhak memilih.

Yang membedakannya dari pemilu legislatif dan pilpres hanya soal pejabat yang dipilih, yakni pejabat eksekutif di tingkat daerah. Karena itu, beralasan untuk menyamakan pilkada dengan pemilu legislatif dan pilpres sehingga selayaknya pilkada diatur dalam undang-undang tersendiri.

Yang juga perlu dipikirkan adalah pemilihan kepala desa (pilkades). Sampai sekarang status pilkades tidak menentu karena tidak ada undang-undang yang mengaturnya secara nasional. Padahal kepala desa adalah pejabat publik/pemerintah yang dipilih oleh semua penduduk desa yang berhak, dan pilkades diadakan di seluruh Indonesia. Agak aneh bila anggaran pelaksanaan pilkades ditanggung oleh calon kepala desa seperti berlaku di beberapa daerah. Seharusnya anggaran penyelenggaraan pilkades ditanggung oleh negara, baik melalui APBN maupun APBD. Perlu ada ketentuan-ketentuan lain yang baku bagi penyelenggaraan pilkades di seluruh Indonesia. Dengan adanya UU Pilkades, berarti undang-undang di bidang politik menjadi enam
Read more

Otonomi Khusus Di Tanah Papua

Ketua Independent Group Supporting Autonomous Region of Papua Within Republic of Indonesia
Sejak diberlakukannya Otonomi Khusus (Otsus) di Papua, beberapa pihak mempertanyakan kemajuan apa yang berhasil dicapai pemerintah daerah dan masyarakat Papua melalui Otsus. Dihadapkan pada pertanyaan bernada skeptis seperti itu, kita harus memahami bahwa tidak mungkin dalam beberapa tahun mengevaluasi efektifitas dari sistem yang baru. Apalagi, pemberlakuan Otsus di Papua diberi waktu dua puluh lima tahun. Berarti terdapat kurun waktu yang cukup untuk melakukan evaluasi.
Apabila ada sementara pihak yang masih mempersoalkan masalah Otsus, hal itu dapat dipahami karena baru akhir tahun 1990-an bangsa Indonesia dibebaskan dari satu sistem pemerintahan yang selama ini menggenggam dan mengekang bangsa Indonesia, termasuk juga di Papua. Baru akhir 1990-an sampai awal 2000-an dibuka kebebasan ruang untuk berekspresi sehingga penerapan sistem pemerintahan baru di Papua yang bernama Otsus ini wajar-wajar saja menarik komentar pro dan kontra.
Oleh karena itu, jika ada kelompok masyarakat yang mengatakan Otsus itu gagal dan harus ditolak, harus dilihat bersama, aspek mana yang dikatakan gagal. Dari sisi perundang-undangan, Otsus itu sendiri sudah merupakan suatu langkah yang sangat maju. Dari sebelumnya tidak ada, sekarang menjadi ada. Dulu hanya pernyataan politik oleh Presiden Soekarno, kemudian juga oleh Presiden Soeharto, tentang spesial otonomi untuk Papua dan sebagainya. Sekarang ini dengan adanya Otsus di Papua yang ditetapkan melalui UU merupakan langkah maju yang sangat luar biasa. Dilihat dari sisi politik, aspirasi masyarakat Papua sudah diinstitusikan lewat UU tersebut dan saat ini sedang diterapkan oleh pemerintah daerah, baik di Papua maupun Papua Barat (Irian Jaya Barat).
Hal itu tidak berarti bahwa Otsus tidak perlu dikritisi lagi. Sebagai sebuah kebijakan, selalu ada kemungkinan kelemahan, terutama menyangkut penerapannya. Misalkan, apakah terjadi mismanagement dalam pelaksanaan program kerja pemda, apakah ada kesalahan dalam pengelolaan keuangannya, atau apakah pemimpin dan aparat daerah tidak memiliki ketrampilan atau ketulusan hati untuk melakukan ini sebagai sesuatu wujud nyata pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah Papua? Semua permasalahan itu harus dibuka dan dicari solusinya bersama-sama.
Secara politik, otonomi khusus adalah kompromi politik antara pusat dengan masyarakat Papua yang sebagian dari mereka menuntut merdeka, lepas dari NKRI. Sebagai sebuah kompromi politik, semua pihak harus bertanggung jawab untuk memelihara kompromi besar ini dengan bijaksana. Jangan sampai karena kepentingan sesaat, karena kuatir kehilangan jabatan dan pengaruh, atau karena maksud-maksud yang tidak jujur, terus mengatakan bahwa Otsus ini tidak bekerja, harus ditolak, dan sebagainya. Satu hal yang perlu kita yakini adalah bahwa Otsus di Papua merupakan solusi final dari konflik politik yang sudah sekian puluh tahun lamanya hadir di tengah masyarakat Papua.
Sering penulis katakan kepada sesama orang Papua bahwa yang terhampar di atas meja sekarang ini adalah otonomi khusus. Energi masyarakat Papua jangan lagi hanya tercurah pada perdebatan-perdebatan politik menyangkut Papua, karena itu justru akan semakin membuat masyarakat Papua tertinggal. Boleh dikatakan, Otsus merupakan tonggak penting dari seluruh rangkaian peristiwa yang mengantar rakyat Papua menjadi bagian integral dari wilayah bekas jajahan Hindia Belanda yang bernama Republik Indonesia yang menyatakan kedaulatannya dengan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sejarah mencatat bahwa sejak Proklamasi Kemerdekaan RI, Belanda dengan segala macam upaya berusaha memisahkan Papua dari RI yang baru terbentuk. Padahal, pada tanggal 24 Agustus 1828, Papua secara resmi lewat Deklarasi Gubernur Hindia Belanda di Batavia, sudah menyatakan Papua masuk menjadi bagian integral Hindia Belanda. Upaya integrasi baru membuahkan hasil setelah 18 tahun proklamasi, melalui New York Agreement 1962 dan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
Selama ini, argumentasi-argumentasi yang sering dibangun sebagai landasan masyarakat Papua untuk menuntut merdeka adalah penilaian bahwa New York Agreement dan Pepera tidak diselenggarakan secara adil. New York Agreement dinilai tidak adil karena tidak melibatkan orang Papua. Sedangkan Pepera dianggap tidak adil karena hanya menghadirkan 1.026 orang, satu sakit sehingga menjadi 1.025 orang. Selain mempermasalahkan New York Agreement dan Pepera, hal lain yang juga sering dijadikan dasar argumen adalah pelanggaran HAM berat di Papua selama bertahun-tahun serta kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat Papua dibanding saudara sebangsa.
Hingga akhirnya, pada tahun 2000 terselenggara Kongres Papua II dimana salah satu butir yang dihasilkannya adalah menuntut untuk keluar dari NKRI. Tuntutan lepas dari NKRI dibangun berdasarkan argumentasi di atas. Merespon hasil kongres tersebut, pemerintah pusat kemudian menawarkan kompromi politik bernama Otonomi Khusus (Otsus). Kompromi ini kemudian dituangkan dalam Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang disahkan pada tahun 2001. Sejak saat itu, political platform yang menjadi pijakan dalam pembangunan Papua adalah Otonomi Khusus. New York Agreement dan Pepera hanya menjadi catatan sejarah belaka. Apalagi—terlepas waktu itu terdapat kelemahan-kelemahan—New York Agreement dan Pepera merupakan dokumen politik yang diakui keabsahannya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedangkan masalah pelanggaran HAM dan kesenjangan pusat dan daerah, harus jujur dilihat bahwa permasalahan tersebut tidak hanya terjadi di Papua saja tetapi juga di banyak daerah di Indonesia. Hal ini dapat dipahami karena permasalahan tersebut terkait dengan pendekatan dan perilaku rezim pemerintahan di masa lalu.
Berdasarkan pemaparan tersebut, argumentasi-argumentasi untuk menuntut Papua keluar dari NKRI sudah tidak lagi memiliki relevansi historis. Di tingkat global saat ini pun, kecenderungan yang terjadi bukanlah memisahkan, tetapi menyatukan potensi dalam rangka menghadapi kehidupan dunia yang makin kompetitif. Ambil contoh, Uni Eropa yang sudah mulai menyatukan kekuatan ekonomi mereka melalui penyatuan mata uang; Euro. Kita patut berbangga karena pemimpin-pemimpin di tanah Papua bisa mendukung “Uni Indonesia”, sementara bangsa-bangsa di Eropa—yang lebih maju dan kita pikir pandai—malah belajar dari kita. Untuk itu, saatnya sekarang memelihara kompromi dan kepercayaan lebih besar yang diberikan pemerintah pusat semaksimal mungkin untuk mengejar ketertinggalan rakyat Papua.
Memang masih ada beberapa orang Papua yang berpikir untuk tetap memisahkan diri. Padahal, wacana pemisahan diri itu muncul pasca-Perang Dunia II. Negara-negara terjajah seperti: India, Indonesia, Malaysia ramai-ramai menyatakan kemerdekaannya dan Perserikatan Bangsa-Bangsa juga melibatkan diri dengan program dekolonisasi supaya negara-negara jajahan yang lain dapat merdeka, seperti: negara-negara di Amerika Latin, Afrika, dan lain-lain.
Tapi di masa-masa sekarang ini, wacana pemisahan diri seperti itu sudah semakin jarang. Di koridor Perserikatan Bangsa-Bangsa saja kata-kata itu sepertinya sudah hilang dari vocabulary politik dunia. Yang ada sekarang adalah: global warming, terrorisme, bagaimana mengatasi HIV/AIDS, bagaimana memerangi kelaparan, kemiskinan, dan sebagainya. Jika masih ada yang memperjuangkan wacana merdeka atau memisahkan diri, maka mereka betul-betul ketinggalan kereta. Fakta bahwa wacana merdeka sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi sekarang ini harus dihadapi dan diterima. Berarti orang Papua harus meningkatkan kemampuannya agar dapat menempatkan kepentingan orang Papua itu dalam konteks Indonesia terkini dan terdepan, yaitu perubahan global yang begitu besarnya. Jika tidak, rakyat Papua bukan saja ketinggalan tapi betul-betul tertinggal dalam banyak hal.
Memang benar bahwa mengubah pola pikir orang itu tidak semudah membalik telapak tangan, terutama di kalangan aktifis yang menginginkan Papua merdeka. Persepsi mereka sudah terbentuk bertahun-tahun. Yang dia pikir ketika mau tidur, bangun, makan, adalah bagaimana melepaskan diri dari NKRI. Suatu tugas yang berat dan penuh dedikasi untuk meyakinkan teman-teman se-Papua bahwa Otsus merupakan jalan politik baru yang rasional dan realistis dalam mencapai kemajuan di tanah Papua. Secara substansial, Otsus telah memberikan “kemerdekaan” bagi rakyat Papua untuk mengelola potensi yang dimiliki guna membangun masa depan Papua yang lebih baik dan lebih bermartabat. Pemahaman ini sepertinya sudah mulai bisa diterima. Tokoh senior Organisasi Papua Merdeka yang lama tinggal di Papua New Guinea, Nicolaas Jouwe, memutuskan untuk kembali ke Indonesia untuk selamanya pada November tahun lalu. Hampir 400 orang yang ada Papua New Guinea juga menginginkan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Dalam kerangka rekonsiliasi, banyak orang yang mengusulkan tentang perlunya dialog antara masyarakat Papua dengan pemerintah pusat. Usulan tersebut sebenarnya bagus, meskipun sedikit menimbulkan kekhawatiran. Istilah “dialog” itu sendiri mengandung muatan dan penafsiran politik yang beragam. Terlebih, pemahaman masyarakat internasional terhadap terminologi dialog dapat berarti bahwa pemerintah Indonesia mau berdialog, seolah-olah Papua dengan Indonesia itu merupakan entitas politik yang setara. Istilah “dialog” lebih berkonotasi adanya suatu penyelesaian perselisihan dengan agenda yang terbuka, termasuk: issu merdeka. Akan lebih baik dan lebih produktif jika diadakan semacam evaluasi nasional tentang Otonomi Khusus Papua. Berbagai permasalahan dapat langsung dibicarakan dan lebih solutif ke sasaran. Sedangkan bila dialog, 1001 agenda bisa masuk.
Di masa yang akan datang perlu dipikirkan agar masyarakat Papua dengan pemerintah Indonesia dapat membuat semacam tulisan atau resolusi bahwa konflik Papua dan semua permasalahan yang berkaitan dengan konflik politik Papua dari zaman penjajahan sampai sekarang sudah selesai. Resolusi ini diharapkan akan memperteguh kesatuan (unity) dan kesalingpercayaan (trust) rakyat Papua sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Read more

Sejarah Siantar

Sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Pematangsiantar merupakan daerah kerajan Siantar. Pematangsiantar yang berkedudukan di pulau Holing dan raja terakhir dari dinasti keturunan marga Damanik yaitu Tuan Sangnawaluh Damanik, yang memegang kekuasan sebagai raja tahun 1906.

Disekitar Pulau Holing kemudian berkembang menjadi perkampungan tempat tinggal penduduk diantaranya Kampung Suhi Haluan, Siantar Kahean, Pantoan,Suhi Bah Bosar,dan Tomuan. Daerah-daerah tersebut kemudian menjadi daerah hukum Kota Pematangsiantar yaitu :

1. Pulau Holing menjadi kampung pematang
2. Siantar Bayu menjadi Kampung Pusat Kota
3. Suhi Kahean menjadi Kampung Sipinggol-pinggol, kampung melayu, Martoba,Sukadame, dan Bane.
4. Suhi Bah Bosar menjadi Kampung Kristen, Karo, Tomuan, Pantoan, Toba dan Martimbang.

Setelah Belanda memamusuki daerah Sumatera Utara, Simalungun menjadi Daerah kekuasaan Belanda sehingga pada tahun 1907 berakhirlah kekuasaan raja-raja. Controleur Belanda yang semula berkedudukan di perdagngngan pada tahun 1907 dipindahkan ke Pematangsiantar. Sejak itu Pematangsiantar berkembang menjadi daerah yang banyak dikunjungi pendatang baru, Bangsa Cina mendiami Kawasan Tiombang Galung dan Kampung melayu.

Pada tahun 1910 didirikan Badan Persiapan Kota Pematangsiantar. Kemudian Pada tanggal 1 Juli 1917 berdasarkan Stad Blad No.285 Pematangsiantar berubah menjadi Geemente yang mempunyai otonomi sendiri. Sejak Januari 1939 berdasarkan Stad Blad No.717 berubah menjadi Geemente yang mempunyai Dewan.

Bulan April memiliki arti dan berkah tersendiri bagi warga Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar. Karena setiap bulan April, kedua daerah ini merayakan hari jadinya masing-masing, meski hari dan tanggalnya berbeda.

Dari perhitungan angka yang ditetapkan, Kabupaten Simalungun lebih dulu ada dari Kota Pematangsiantar. Hanya saja ada perbedaan perhitungan tahun kesepakatan soal tanggal kelahiran. Peringatan hari jadi Kota Pematangsiantar dihitung mulai dari kelahiran Raja Siantar Sangnawaluh Damanik, 24 April 1871. Sementara hari jadi Kabupaten Simalungun, tahun kelahirannya bukan dihitung dari kelahiran seorang raja. Tetapi dihitung berdasarkan tanggal pembuatan Pustaha Laklak (pustaka kuno,red) yang ditemukan di Talang Tuo Palembang (Sumatera Selatan), yakni 11 April 1833.

Meski perhitungan dan tanggal penetapan tersebut masih saja berpeluang untuk dikritisi kembali. Merujuk fakta sejarah, cikal-bakal Simalungun diperkirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Nagur, sekitar tahun 500-an. Rajanya bermarga Damanik. Sementara marga-marga Simalungun lainnya, diperkirakan baru ada di wilayah ini setelah tahun 1367 pada zaman Kerajaan Purba Desa Nauwaluh (Batak Timur Raya).

Masuknya marga-marga lain ini jelas beragam versi sejarahnya. Namun salah satunya mengungkapkan adanya keterkaitan etnik Karo, Melayu dan Pakpak dalam perkembangan marga Simalungun. Khususnya sejak perkembangan Kerajaan Batak Timur Raya. Sedangkan marga-marga Toba, Mandailing baru masuk ke Simalungun sekitar tahun 1912 pada masa penjajahan Belanda. Terutama saat pembukaan persawahan Bah Kora I di Siantar Sawah sekarang. Simalungun sebelumnya terdiri dari beberapa wilayah kerajaan. Termasuk Kerajaan Siantar yang akhirnya menjadi ibukota Kabupaten Simalungun. Dalam perjalanan waktu, Kota Pematangsiantar akhirnya berdiri sendiri dan berkembang menjadi sebuah daerah otonom yang terpisah dari Kabupaten Simalungun. Perkembangan itu sarat dengan perjuangan-perjuangan serta pergumulan-pergumulan silih berganti, termasuk pada masa penjajahan Belanda, Jepang, zaman kemerdekaan, orde baru hingga era reformasi sekarang.

Tahun 1871 dianggap sebagai perhitungan tahun berdirinya Kota Siantar, hingga sekarang usianya sudah 136 tahun. Meskipun sebenarnya dari persfektif historis, tahun 1871 yang diabadikan menjadi tahun kelahiran Kota Siantar, masih tetap bisa dikritisi banyak orang. Meskipun Pemko dan DPRD Siantar telah sepakat membuat tahun kelahiran Sangnawaluh itu menjadi kelahiran Siantar. Hitungannya, saat dinobatkan menjadi Raja Siantar pada tahun 1888, usianya sudah mencapai 17 tahun.

Yang jadi soal, jika tahun itu yang jadi acuan, berarti zaman Kerajaan Marropat, di mana Siantar merupakan salah satu di dalamnya jadi tak ikut dihitung. Padahal Kerajaan Siantar sudah ada sebelum Raja Sangnawaluh dilahirkan. Karena pada tahun 1833 saja, saat pembentukan Kerajaan Marropat, Siantar sudah ikut di dalamnya. Meskipun Kerajaan Marropat (Nan Empat) sendiri ternyata tak bertahan lama, karena satu diantaranya yakni Kerajaan Silou kemudian pecah menjadi empat Kerajaan, yang terdiri dari Dolok Silou, Raya, Purba dan Silimakuta.

Hal ini mengakibatkan pada tahun 1904, di Simalungun telah ada 7 Kerajaan yang memiliki kedaulatan masing-masing. Berdirinya Kerajaan Marpitu boleh dikatakan merupakan kelanjutan dari Kerajaan Marropat sebelumnya. Saat zaman Kerajaan Marpitu berkuasa, Kolonial Belanda sudah semakin menancapkan kuku kekuasaannya di Simalungun, termasuk mempengaruhi Raja-raja Simalungun agar mau tunduk kepada Belanda. Tentu saja, kehendak Belanda ini mendapat perlawanan dari Raja-raja Simalungun.

Masing-masing Kerajaan Marpitu itu adalah, Kerajaan Dolok Silou, Kerajaan Silimakuta, Kerajaan Raya, Kerajaan Purba, Kerajaan Siantar, Kerajaan Panei dan Kerajaan Tanah Jawa. Setiap kerajaan ini melaksanakan tugas pemerintahannya dipimpin seorang Raja, dibantu Dewan Kerajaan yang disebut Harajaan, yaitu semacam kabinet yang terdiri dari pembesar negeri. Kepada mereka diberikan gelar bervariasi menurut kebiasaan masing-masing kerajaan.

Kerajaan Siantar sendiri waktu itu sudah dipengaruhi kekuasaan Belanda, hingga akhirnya menandatangani Perjanjian Pendek dengan Belanda (Korte Verkalring). Namun dari berbagai sumber sejarah Simalungun diketahui, Sangnawaluh bukanlah merupakan pendiri Kerajaan Siantar tetapi penerus tahta kerajaan. Karena Sangnawaluh sudah merupakan pewaris pendahulunya (ketujuh) yang menjadi Raja Siantar pada tahun 1888. Hal ini merujuk dari silsilah Kerajaan Siantar, diketahui Rajanya secara berturut-turut adalah Raja Naihorsik – Raja Hitam – Raja Nai Halang – Raja Namaringis – Raja Namartuah – Raja Mopir – Raja Sangnawaluh – Tuan Torialim (Tuan Marihat) dan Tuan Riahta Damanik (Tuan Sidamanik).

Kedua Raja Siantar terakhir inilah yang kemudian melakukan Perjanjian Pendek dengan Belanda tanggal 16 Oktober 1907. Seterusnya, Kerajaan Siantar dipangku oleh Tuan Riah Kadim (Tuan Waldemar) dan terakhir hingga meletusnya Revolusi Sosial di Simalungun 1946, Kerajaan Siantar dipimpin Tuan Sawadim Damanik. Sebenarnya dapat disebutkan, bahwa sejak adanya Perjanjian Pendek antara Raja-raja Simalungun dengan Belanda, berakhir pulalah kekuasaan Raja-raja di Simalungun sekitar tahun 1907. Karena sebelumnya Kerajaan Panei, Raya, Silimakuta, Purba, Tanah Jawa, Dolok Silou sudah lebih dulu menandatanganinya.

Adapun isi Perjanjian Pendek itu antara lain: Raja harus mematuhi semua perintah dan peraturan Gubernur General, Raja harus mengakui kerajaannya menjadi bagian kerajaan Hindia Belanda, Raja tidak boleh mengadakan hubungan dengan pihak asing, Raja tidak memiliki wilayah laut dan pantai, Struktur pemerintahan berlaku hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan peradaban Belanda serta segala sesuatu harus mendapatkan persetujuan Residen atau wakilnya.

Akibat dari perjanjian tersebut, makin lemahlah kedudukan Raja-raja Simalungun. Hal ini makin mempercepat arus penguasaan wilayah Simalungun oleh Belanda yang kemudian menjadikannya daerah perkebunan. Karena memang, kondisi geografis tanah Simalungun sangat memungkinkan untuk dijadikan lahan perkebunan.

Controleur Belanda yang sempat berkedudukan di Perdagangan pada tahun 1907 di pindahkan ke Pematangsiantar. Sejak itu Kota Pematangsiantar mulai berkembang menjadi daerah yang banyak dikunjungi pendatang baru. Apalagi, dibukanya jalan-jalan baru ke luar daerah Simalungun, makin membuat banyak orang berlomba-lomba hijrah ke daerah ini. Tahun-tahun berikutnya, para pemodal asing membuka lahan-lahan perkebunan di daerah-daerah sekitar Pematangsiantar.

Hampir bersamaan dengan pembukaan perkebunan tersebut, pembangunan irigasi juga semakin diintensifkan, sering dengan makin meningkatnya para petani yang datang dari daerah Tapanuli. Meskipun perpindahan itu sempat terkendala beberapa waktu akibat berjangkitnya penakit kolera yang menimbulkan banyak korban jiwa, bahkan menyebabkan sebagian ada yang kembali ke daerah Tapanuli.

Dibukanya jalan raya dari Balige ke Pematangsiantar pada athun 1915 memberi arti tersendiri bagi orang-orang yang akan memasuki Simalungun atau daerah lainnya di Sumatera Timur, sekaligus memberikan kemudahan bagi mereka yang akan pindah. Terbukanya hubungan lalu-lintas sampai ke Kota medan pada tahun-tahun berikutnya menyebabkan daerah Pematangsiantar menjadi kota transit bagi orang-orang yang melintas untuk mencari pekerjaan.

Akibatnya, Kota Pematangsiantar menjadi tempat berbagai suku bangsa, dan itu berkenaan dengan orang-orang Toba, Karo Mandailing, Jawa, Cina dan sebagainya. Berdasarkan Stadblad Belanda Nomor 285 tanggal 1 Juli 1917, Pematangsiantar kemudian berubah menjadi Gemeente yang punya kewenangan otonomi sendiri. Sejak 1 Januari 1939 berdasarkan Stad Blad Nomor 717 Kota Siantar berubah menjadi Gemeente yang punya Dewan Kota. Pada masa pendudukan Jepang berubah menjadi Siantar State dan menghapuskan Dewan Kota.

Kemudian setelah proklamasi kemerdekaan, berdasarkan UU Nomor 22/1948, status Gemeente dirubah menjadi ibukota Kabupaten Simalungun dan walikotanya dirangkap Bupati Simalungun hingga tahun 1957. Berdasarkan UU Nomor 1/1957 berubah menjadi Kotapraja penuh. Dengan keluarnya UU Nomor 18/1965 berubah menjadi Kotamadya dan berdasarkan UU Nomor 5/1974, tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, resmi menjadi Kotamadya Pematangsiantar.

Sejak pasca kemerdekaan 1945 hingga sekarang, kota seluas 79,97 Km persegi yang sekarang terbagi dalam 7 kecamatan dan 43 kelurahan ini, telah 23 berganti Kepala Daerah. Masing-masing adalah: Tuan Maja Purba (1945), Muhammad Kasim (1946-1947), Forensius Lumbantobing (1950-1952), Tuan Maja Purba (1952-1956), HP Situmorang (menjabat saat Tuan Maja Purba di Ampera), Farel Pasaribu (1954-1956). Mereka ini merangkap sebagai Bupati Simalungun. Setelah pemisahan dari Kabupaten Simalungun, Walikota pertama adalah OKH Salamuddin (1956-1957), dilanjutkan Jamaluddin Tambunan (1957-1959), Rakoetta Sembiring (1960-1964), Abner Situmorang (1964), Pandak Tarigan (1965), Zainuddin Hasan (1965), Tarif Siregar (1965-1966), Drs Mulatua Pardede (1966-1968), Letkol Laurimba Saragih (1968-1974), Kolonel Sanggup Ketaren (1974-1979), Kolonel Drs MJT Sihotang (1979-1984), Drs Djabanten Damanik (1984-1989), Drs H Zulkifli Harahap (1989-1994), Drs Abu Hanifah (1994-1999) Ir Marsal Hutagalung (Pelaksana Walikota mulai Juni 1999-Januari 2000), Drs Makmur Saleh Pasaribu (Pelaksana Walikota Januari- Juni 2000) dan Drs Marim Purba/Ir Kurnia Rajasyah Saragih (2000-2005).

Namun Oktober 2004 Marim Purba diberhentikan sementara dan jabatannya dilaksanakan Wakil Walikota. Selama setahun diberhentikan, Marim sempat diangkat kembali namun tak berapa lama kemudian, Pebruari 2005 dinonaktifkan kembali. Ini tentu sejarah tersendiri bagi warga Siantar. Karena seorang Walikota 2 kali dinonaktifkan dalam 1 kali masa jabatan. Sekarang, Kota Siantar dipimpin Walikota/Wakil Walikota, Ir RE Siahaan/Drs. Imal Raya Harahap, hasil Pilkada langsung untuk periode (2005-2010). Selain itu telah terjadi 9 kali pergantian Pimpinan DPRD Siantar, yakni PH Marpaung (1957-1961), Zainuddin Hasan (1961-1967), Ratam Damanik (1967-1968), AY Purba (1968-1987), Suparmin (1977-1982), H Laurimba Saragih (1987-1992), H Mariaman Naibaho (1992-1997), Drs Dervin Simbolon (1997-1999) dan Bagian Sitopu (1999-2004) dan Lingga Napitupulu (2004-2009).

Pada jaman Jepang berubah menjadi Siantar Estate dan Dewan dihapus. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Pematangsiantar kembali menjadi daerah Otonomi. Berdasarkan UU No.22/1948 status geemente menjadi kota kabupaten Simalungun dan Walikota di rangkap oleh Bupati Simalungun sampai 1957.

Berdasarkan UU No1/1957 berubah menjadi Kota Praja penuh dan dengan keluarnya UU No.18/1965 berubah menjadi Kotamadya, dan dengan keluarnya UU No.5/1974 Tentang pokok-pokok pemerintah di daerah berubah menjadi daerah tingkat II Pematangsiantar sampai sekarang.
Read more

pendidikan

A. Pendahuluan
Hampir semua orang melaksanakan pendidikan karena pendidikan tidak pernah terpisah dengan kehidupan manusia. Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya dan manakala anak-anak ini dewasa dan berkeluarga mereka juga akan mendidik anak-anaknya. Begitu juga di sekolah dan perguruan tinggi, para siswa dan mahasiswa dididik oleh guru dan dosen.
Menurut Drijarkara SJ (dalam Gunawan, 1995 : 1), pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan tersebut dilakukan oleh manusia-manusia (dewasa) dengan upaya-upaya yang sungguh-sungguh serta strategi dan siasat yang tepat demi keberhasilan pendidikan tersebut. Pelaksanaan pendidikan berlangsung dalam keluarga sebagai pendidikan informal, di sekolah sebagai pendidikan formal dan di masyarakat sebagai pendidikan nonformal serta berlangsung seumur hidup. Sedangkan menurut Tirtarahardja dan Sulo (2005 : 34), pendidikan adalah sebagai proses pembentukan pribadi yang diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian dari individu. Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia secara manusiawi
Hal-hal yang dapat diketahui sebagai landasan kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia, berawal dari masa sebelum kedatangan Belanda di Indonesia yaitu zaman Hindu dan Budha serta kerajaan-kerajaan Islam, zaman kolonial Belanda (termasuk Portugis, Inggris, dan sebagainya), zaman pendudukan balatentara Jepang, zaman kemerdekaan Republik Indonesia 1945 hingga sekarang. Pada zaman kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 sampai dengan sekarang ini, diselingi dengan zaman perlawanan fisik (clash I dan II) dan RIS, zaman Orde Lama, zaman Orde Baru hingga zaman Revormasi beserta segala inovasi di bidang pendidikan.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kebijakan-kebijakan dan program-program pendidikan di Inoonesia.

B. Politik Pendidikan Indonesia
Politik pendidikan di Indonesia agaknya mengalami pergeseran dari sentralistik (terpusat) ke desentralisasi. Awal mula intervensi negara terhadap sektor pendidikan ini sangat besar, sangat kental, dan sangat vulgar. Keadaan mencapai puncaknya saat kementerian pendidikan dipegang oleh Daoed Joesop. Saat itu tidak ada satupun kebebasan dalam sekolah dan kampus. Bahkan berbeda pendapat pun tidak dimungkinkan. Sekolah dan kampus tak ubahnya kelas besar untuk indokrinasi ideologi pemerintah (bukan ideologi negara) yang tidak menginginkan adanya kritik terbuka. Kurikulum didisain sedemikian rupa sehingga mata pelajaran yang sifatnya politis menjadi sangat dipentingkan. Mata pelajaran Pancasila, Sejarah, Kewiraan, dan bahkan agama didisain untuk mengentalkan intervensi negara kepada otak, pikiran dan sikap warga negaranya.
Seiring dengan kejatuhan rejim ‘orde baru’ yang interventif tersebut, yang dijatuhkan oleh adanya gerakan reformasi total masyarakat yang dimotori oleh mahasiswa dan kalangan terpelajar, datanglah era yang penuh semangat untuk mengurangi peran dan campur tangan pemerintah pusat dalam menangani berbagai permasalahan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan. Inspirasi pertama muncul dari diundangkannya otonomi daerah secara reformis, yaitu UU No.22 tahun 1999. Dikatakan secara reformis karena sebelum ini memang sudah pernah ada UU otonomi daerah tetapi tidak memiliki ruh reformasi dan hanya formalitas, yaitu UU No.5 tahun 1975. UU otonomi daerah yang baru itu mengilhami dirumuskannya kebijakan desentralisasi pendidikan.
Kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia bukan saja sekedar keinginan dan kemauan, tetapi sudah merupakan suatu keharusan. Pasca gerakan reformasi politik dicanangkan pada tahun 1998, ke depan ini bangsa Indonesia harus bangkit menjadi bangsa yang kuat dan bermartabat, yang berarti sektor pendidikan harus ditempatkan pada posisi penring dan urgent. Berkaitan dengan urgensi sektor pendidikan itu maka harus dilakukan reformasi dalam pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi.
Menurut Albab (2006), mengatakan ada 3 hal yang dapat menjelaskan urgensi desentralisasi pendidikan di Indonesia, yaitu :
a. Untuk pembangunan masyarakat demokrasi;
b. Untuk pembangunan social capital; dan
c. Untuk peningkatan daya saing bangsa;
Pada awal abad XXI, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipas era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.
Sementara itu, penyebaran sumber daya manusia dengan berbagai macam dan tingkatan belum sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi. Selain itu, masih dirasakan kurangnya budaya berpikir kritis, penghargaan karya cipta (HAKI) yang belum memadai, kurang efektifnya sistem kelembagaan dan perangkat perundang-undangan serta sertifikasi profesi ilmiah. Berbagai permasalahan tersebut akan dapat diatasi melalui pelaksanaan berbagai program pembangunan yang mengacu pada arah kebijakan pendidikan, seperti yang telah tercantum dalam Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
1. Visi Pendidikan Nasional
Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusaia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

2. Misi Pendidikan Nasional
Untuk mewujudkan visi pendidikan nasional, pemuda, dan olahraga ditetapkan misi yang menjadi sasaran pembangunan pendidikan nasional, pemuda, dan olahraga, yaitu sebagai berikut:
a. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar.
c. Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk menoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral.
d. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global.
e. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kestuan Republik Indonesia.

C. Arah Kebijakan Pendidikan Indonesia
Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:
a. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti;
b. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan;
c. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara professional;
d. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai;
e. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen;
f. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
g. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya;
h. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.

D. Program Pembangunan Pendidikan Indonesia
1. Program Pendidikan Dasar dan Prasekolah
Program pembinaan pendidikan dasar dan prasekolah bertujuan untuk (1) memperluas jangkauan dan daya tampung sehingga menjangkau anak-anak dari seluruh masyarakat; (2) meningkatkan kesamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok yang kurang beruntung; (3) meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan prasekolah dengan kualitas yang memadai; dan (4) terselenggaranya manajemen pendidikan dasar dan prasekolah berbasis pada sekolah dan masyarakat (school / community based management).
Kegiatan pokok dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan dasar dan prasekolah adalah (1) meningkatkan kemampuan profesional dan kesejahteraan guru serta tenaga kependidikan lainnya agar dapat meningkatkan kualitas, citra, wibawa, harkat, dan martabat; (2) menyusun kurikulum yang berbasis kompetensi dasar, sesuai dengan kebutuhan yang mampu meningkatkan kreativitas guru; (3) meningkatkan penyediaan, penggunaan, dan perawatan sarana dan prasarana pendidikan; (4) meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses belajar-mengajar; dan (5) meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas kinerja kelembagaan sehingga peran dan tanggung jawab sekolah, pemerintah daerah, termasuk lembaga legislatif dan masyarakat dalam upaya peningkatan mutu pendidikan makin nyata.

2. Program Pendidikan Menengah
Program pembinaan pendidikan menengah yang mencakup Sekolah Menengah Umum (SMU), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah (MA) ditujukan untuk (1) memperluas jangkauan dan daya tampung SMU, SMK, dan MA bagi seluruh masyarakat; (2) meningkatkan kesamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok yang kurang beruntung (3) meningkatkan kualitas pendidikan menengah sebagai landasan bagi peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan kebutuhan dunia kerja; (4) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan yang tersedia, (5) meningkatkan keadilan dalam pembiayaan dengan dana publik, (6) meningkatkan efektivitas pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat, (7) meningkatkan kinerja personel dan lembaga pendidikan, (8) meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mendukung program pendidikan, dan (9) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.
Kegiatan pokok dalam upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan menengah adalah (1) meningkatkan kemampuan profesional dan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya; (2) menyusun kurikulum yang berbasis kompetensi dasar sesuai dengan kebutuhan; (3) meningkatkan standar mutu nasional secara bertahap agar lulusan pendidikan menengah mampu bersaing dengan lulusan pendidikan menengah di negara-negara lain; (4) mengembangkan lomba karya ilmiah dan sejenisnya; (5) mengembangkan program-program keterampilan/ kejuruan pada SMU dan MA yang sesuai dengan lingkungan setempat atau tuntutan dunia kerja; (6) meningkatkan pengadaan, penggunaan, dan perawatan sarana dan prasarana pendidikan; (7) meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses belajar mengajar melalui pemetaan mutu sekolah.

3. Program Pendidikan Tinggi
Program pembangunan nasional pendidikan tinggi bertujuan untuk (1) melakukan penataan sistem pendidikan tinggi; (2) meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan tinggi dengan dunia kerja; dan (3) meningkatkan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi, khususnya bagi siswa berprestasi yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Kegiatan pokok di bidang peningkatan kualitas dan relevansi adalah (1) menyesuaikan program studi dengan perkembangan kebutuhan pembangunan nasional; (2) meningkatkan kualitas tenaga pengajar dengan jalan meningkatkan proporsi yang berpendidikan pascasarjana; (3) meningkatkan kualitas fasilitas laboratorium beserta peralatannya, buku-buku, dan jurnal ilmiah; serta (4) menyempurnakan kurikulum yang sejalan dengan tuntutan kebutuhan pembangunan, baik di tingkat lokal maupun nasional untuk menghadapi persaingan global.

4. Program Pembinaan Pendidikan Luar Sekolah
Program pembinaan pendidikan luar sekolah (PLS) ini bertujuan untuk menyediakan pelayanan kepada masyarakat yang tidak atau belum sempat memperoleh pendidikan formal untuk mengembangkan diri, sikap, pengetahuan dan keterampilan, potensi pribadi, dan dapat mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Selain itu, program PLS diarahkan pada pemberian pengetahuan dasar dan keterampilan berusaha secara profesional sehingga warga belajar mampu mewujudkan lapangan kerja bagi dirinya dan anggota keluarganya.
Kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) mempercepat penuntasan buta aksara melalui keaksaraan fungsional, khususnya bagi penduduk usia 10-44 tahun.; (2) meningkatkan sosialisasi dan jangkauan pelayanan pendidikan dan kualitas serta kuantitas warga belajar Kejar Paket A setara SD, Kejar Paket B setara SLTP untuk mendukung wajib belajar 9 tahun, dan mengembangkan berbagai jenis pendidikan luar sekolah yang berorientasi pada kondisi dan potensi lingkungan, dengan mendayagunakan prasarana dan kelembagaan yang sudah ada di masyarakat; dan (3) mengembangkan model pembelajaran untuk program pendidikan berkelanjutan yang berorientasi pada peningkatan keterampilan dan kemampuan kewirausahaan.
5. Program Sinkronisasi dan Koordinasi
Program ini bertujuan untuk meningkatkan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan program-program pendidikan baik antar jenjang, jalur, dan jenis maupun anta rdaerah. Sasarannya adalah mewujudkan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan program-program pembangunan pendidikan, antarjenjang, jalur dan jenis maupun antardaerah.
Kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) melakukan kajian akademik, merumuskan, dan mewujudkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pendidikan nasional yang mendukung sinkronisasi dan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pendidikan antar jenjang, jalur dan jenis maupun antardaerah; (2) mengembangkan dan melaksanakan sistem kelembagaan yang mendukung sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan pembangunan pendidikan antar jenjang, jalur dan jenis maupun antardaerah; (3) melakukan penilaian / pengukuran keberhasilan pembangunan pendidikan nasional; (4) melakukan standarisasi sarana dan prasarana pendidikan untuk mendukung proses belajar mengajar yang bermutu; (5) mengembangkan dan melaksanakan sistem informasi dan pendataan untuk semua jalur, jenis, dan jenjang, serta daerah; (6) melakukan advokasi dan sosialisasi kebijakan pendidikan nasional; dan (7) melakukan kerja sama di bidang pendidikan dengan berbagai lembaga baik di dalam maupun di luar negeri.

6. Program Penelitian dan Pengembangan
Program ini bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu hasil penelitian; (2) meningkatkan kualitas peneliti; (3) meningkatkan kompetensi lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) publik searah dengan kebutuhan dunia usaha dan masyarakat, serta perkembangan percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (4) membentuk iklim yang kondusif bagi terbentuknya sumber daya litbang. Sasaran yang akan dicapai adalah mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa untuk memecahkan berbagai masalah pembangunan.
Kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) membina kreativitas pengembangan program penelitian; (2) mengembangkan riset-riset pembinaan dan unggulan; (3) memanfaatkan hasil litbang dalam peningkatan kualitas layanan masyarakat; (4) mengembangkan jaringan kerjasama riset, termasuk dengan lembaga penelitian internasional untuk mengembangkan produk-produk unggulan; (5) mengembangkan dan memantapkan pusat-pusat unggulan di berbagai lembaga universitas dan riset; (6) mengembangkan kajian-kajian sosial budaya sebagai masukan bagi kebijakan pemerintah; (7) melindungi produk litbang dalam HAKI dan desentralisasi agar pendapatan lebih dapat dimanfaatkan oleh individu dan lembaga penemu; (8) membina organisasi profesi ilmiah untuk melakukan sertifikasi dan akreditasi profesional sesuai dengan standar internasional; (9) memberdayakan lembaga-lembaga ilmiah dan masyarakat dalam pemberian penghargaan inovasi ilmiah; dan (10) mengembangkan pranata iptek di daerah, baik dari sisi program maupun kelembagaannya, sesuai dengan kebutuhan dan potensi sumber daya daerah.

7. Program Peningkatan Kemandirian dan Keunggulan Iptek
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pelayanan teknologi lembaga-lembaga litbang, Metrology, Standardization, Testing and Quality (MSTQ), yang ditekankan untuk mendukung daya saing dunia usaha dan mendorong pelaksanaan litbang di dan oleh dunia usaha. Sasaran yang akan dicapai adalah meningkatnya kemandirian pelayanan teknologi dan keunggulan inovasi teknologi bangsa sendiri agar dapat meningkatkan daya saing dunia usaha dan masyarakat.
Kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) mengembangkan agenda riset lembaga litbang dengan pengguna iptek; (2) menata sistem kelembagaan, legal, fiskal, dan finansial untuk memudahkan sebaran kemanfaatan iptek, bagi dunia usaha; (3) menyusun peraturan perundang-undangan untuk memberikan keleluasaan lembaga litbang dalam mengelola penerimaan dana hasil penelitian dan pelayanan teknologi; (4) mengembangkan iklim riset dan evaluasi kinerja melalui mekanisme seleksi terbuka; (5) mengembangkan sistem MSTQ melalui peningkatan standar mutu luaran iptek; (6) mengembangkan asistensi teknis kepada usaha kecil, menengah, koperasi, dan wirausaha tradisional; dan (7) memperluas kemitraan riset, termasuk menyederhanakan proses kemitraan, untuk meningkatkan keefektifan dan keleluasan dalam berhubungan dengan dunia usaha.

E. Manajemen Pendidikan di Indonesia
Administrasi dan menejemen (birokrasi) pendidikan di Indonesia tidak berbeda dengan administrasi dan manajemen sektor-sektor lain yang berbentuk departemen. Secara nasional permasalahan sektor pendidikan ditangani oleh sebuah badan berbentukdepartemen, yang beberapa kali mengalami perubahan nama dan perubahan terakhir diberi nama Departemen Pendidikan Nasional Departemen ini dipimpin oleh seorang menteri yang ditunjuk langsung oleh presiden.
. Sejalan dengan kebijakan desentralisasi pemerintahan, maka sektor pendidikan ini juga mengalami perubahan kebijakan dari sentralistik ke desentralisasi. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan dikeluarkannya Undang Undang Pemerintahan Daerah dan otonomi daerah adalah untuk memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada Daerah dan masyarakat sehingga memberi peluang kepada Daerah dan masyarakat agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakasa sendin sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah.
Penyelenggaraan pendidikan memerlukan dukungan masyarakat yang memadai. Sebagat langkah alternatif dalam mengupayakan dukungan masyarakat untuk sektor pendidikan ini adalah dengan menumbuhkan keberpihakan yang bermutu, mulai dari pimpinan negara, sampai aparat yang paling rendah. termasuk masyarakat yang bergerak dalam sektor swasta dan industri. Keberpihakan konkret itu perlu disalurkan secara politis menjadi suatu gerakan bersama (collective action) yang diwadahi Dewan Pendidikan yang berkedudukan di kabupaten/kota dan komite Sekolah ditingkat satuan pendidikan.
Tujuan dibentuknya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah sebagai berikut:
1. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan dikabupaten/kota (Untuk Dewan Pendidakan) dan di satuan pendidikan (Untuk Kornite Sekolah).
2. Menigkatkan tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
3. Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalarn penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di daerah kabupaten/kota dan satuan pendidikan.

Peran yang dijalankan Dewan Pendidikan adalah sebagai pemberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. Badan tersebut juga berperan sebagai pendukung baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan.
Selain itu, upaya peningkatan manajemen pendidikan adalah :
1. Mengembangkan manajemen berbasis sekolah;
2. Meningkatkan partisipasi masyarakat agar dapat menjadi mitra kerja pemerintah
3. Mengembangkan sistem akreditasi secara adil dan merata, baik untuk sekolah negeri maupun swasta
4. Memberdayakan personel dan lembaga antara lain dilakukan melalui pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga profesional
5. Meninjau kembali semua produk hukum di bidang pendidikan, yang tidak sesuai lagi dengan arah dan tuntutan pembangunan pendidikan
6. Merintis pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar untuk meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara independen

F. Pendanaan Pendidikan di Indonesia
Sumber pendanaan pendidikan di Indonesia berasal dari beberapa sumber anggaran, yaitu berasal dari APBN, APBD Propinsi, dan APBD Kabupaten/Kota. Sumber pendanaan dari APBN umumnya dialokasikan untuk seluruh kegiatan pendidikan, mulai dari tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Sumber dari APBN ini juga diperuntukkan bagi penyelenggaraan pendidikan secara nasional.
`Sedangkan sumber pendanaan yang berasal dari APBN Propinsi, umumnya sebagian besar diperuntukkan bagi pendidikan tingkat dasar dan menengah. Hanya sebagian kecil yang dialokasikan untuk mendukung kegiatan di tingkat pendidikan tinggi.
Sumber dana dari APBD propinsi ini dialokasikan untuk penuyelenggaraan pendidikan yang ada diwilayah propinsi tersebut. Adapun sumber pendanaan dari APBD Kabupaten/Kota seluruhnya untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan di wilayah tersebut. Hal ini sesuai dengan semangat desentralisasi. Sejak diberlakukannya kebijakan desentralisasi pendidikan, alokasi anggaran pendidikan, baik di APBN maupun APBD Propinsi dan Kab/Kota, mengalami peningkatan yang cukup berarti. Hal ini dikarenakan menurut amanat UU, anggaran pendidikan harus terus diupayakan dinaikkan hingga mencapai sedikitnya angka 20% dari total anggaran pengeluaran APBN atau APBD.

G. Penutup
Desentralisasi pendidikan menempatkan sekolah sebagai garis terdepan dalam berperilaku untuk mengelola pendidikan. Desentralisasi ini juga memberikan apresiasi terhadap perbedaan kemampuan dan beranekamacam kondisi daerah dan rakyatnya, sebab sistem pendidikan yang menekankan perilaku yang berbeda-beda untuk kondisi rakyat dan daerah merupakan sistem yang sesuai dengan jiwa otonomi dan desentralisasi.
Dengan kata lain, pendidikan memiliki spektrum masa depan yang luas dan seimbang, sehingga harapan masyarakat terhadap pendidikan terpenuhi, manusia Indonesia seutuhnya dapat diwujudkan dan sumber daya manusia yang ada sudah cukup tangguh dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Referensi

Albab, Ulul. 2005. Perbandingan Pendidikan AS – Indonesia, (diambil dari http://www.unitomo.ac.id/artikel/ululalbab/edu_policy/babdua.pdf pada tanggal 21 Oktober 2007).
Read more

POKOK-POKOK PIKIRAN TENTANG
FORMULASI MODEL SISTEM PEMERINTAHAN KAMPUNG
MENUJU KEMANDIRIAN


A.    PENDAHULUAN
“Semangat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 dalam kerangka reformasi pemerintahan kampung seharusnya menjadi landasan pemba-ngunan di Tanah Papua. Di Kabupaten Jayapura, telah dilancarkan berbagai strategi dan pendekatan pembangunan yang bermaksud mem-berdayakan masyarakat kampung, tetapi mengapa semuanya seolah ambruk ditengah jalan? Pertanyaannya kini adalah seberapa besar efek pemberdayaan dari berbagai program tersebut dapat menghantarkan masyarakat kampung mencapai harkat dan martabatnya pada tataran sejahtera lahir dan bathin ? Jawabannya adalah suatu pertanyaan, yaitu mengapa sistem pemerintahan kampung seolah tidak efektif dalam menjalankan program pemberdayaan tersebut ?”
Ada beberapa hal yang menarik didiskusikan dalam rangka mencari solusinya. Pertama, apakah sistem pemerintahan yang ada sekarang ini telah cukup representatif mencerminkan spesifikasi kebutuhan masyarakat dan hak-hak khusus masyakakat adat ? Kedua, Jika hal itu terkait dengan responsivitas masyarakat dalam mendukung bekerjanya sistem pemerin-tahan formal di Kampung, mengapa masih muncul resistensi terhadap pemimpin formal yang kemudian melahirkan dualisme pola anutan masyarakat yang mengedepankan kepemimpinan informal ? Ketiga,  Jika hal itu terkait dengan tingkat kepercayaan pemerintah daerah terhadap kapasitas pemerintahan kampung, mengapa Pemerintahan Kampung belum dapat mewujudkan prinsip-prinsip otonominya secara memadai ? Keempat, Jika benar bahwa solusi pembangunan adalah penerapan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 secara menyeluruh hingga ke strata masyarakat di Kampung, mengapa belum dilakukan penyelerasan sistem pemerintahan di kampung ?
Untuk menjawab soal di atas, tulisan ini akan dibagi menjadi empat bagian yaitu: Pada bagian pertama, dibahas tentang Otonomi Kampung, dalam konsepsi dan acuannya. Pada bagian kedua diutarakan tentang fenomena kampung kita pada masa kini dan agenda reformasi dalam rangka revitalisasi tata pemerintahan kampung masa depan. Pada Bagian ketiga, dideskripsikan secara singkat mengenai dualisme kepemimpinan pemerintahan kampung. Pada Bagian keempat, dicoba mengungkapkan model alternatif sebagai solusi mencari format tata pemerintahan kampung yang didasarkan pada kehendak menciptakan suatu sistem pemerintahan kampung yang kuat dan berwibawa.
Dalam rangka pembahasan keempat bagian tersebut digunakan dasar acuan legal-formal seperti : (a) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua; (b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999; (c) Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa; dan (4) Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura.
Tulisan ringkas ini disusun dengan maksud sebagai salah satu referensi dalam menghantarkan diskusi secara mendalam tentang format tata pemerintahan kampung di Kabupaten Jayapura yang menghargai penting-nya hak-hak khusus masyarakat kampung sesuai tatanan adat-istiadatnya, tanpa harus mengabaikan prinsip-pinsip hukum formal. Tujuannya adalah : (a). Menemukan berbagai ungkapan pemikiran yang cermat dan cerdas untuk memperkaya bahan-bahan perumusan model pemerintahan kampung berkelayakan; (b). Menemukan kerangka model pemerintahan kampung yang berkemampuan dalam menyelenggarakan berbagai program pemberdayaan masyarakat.
B.     OTONOMI KAMPUNG : APAKAH ITU ?
Pada hakekatnya, otonomi itu adalah wujud dari hak mengatur diri sendiri tanpa ada intervensi dari yang lainnya. Oleh karena itu, otonomi sesungguhnya tidak diberikan oleh siapa-siapa, karena bersumber dari diri kita masing-masing. Yang dibutuhkan adalah pengakuan formal atas hak-hak tersebut melalui suatu sistem regulasi yang mencerminkan kesempatan yang luas dan bertanggung jawab bagi pelaksanaan hak-hak itu. Jika hak-hak itu diakumulasikan ke dalam bentuk kehidupan sosial kemasyarakatan, maka lahirlah hak bersama sesuai tatanan sosial-budaya yang disepakati oleh suatu kelompok masyarakat. Tatanan sosial budaya yang demikian itu, kemudian diakui sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum (secara formal maupun adat). Maka terbentuklah suatu kesatuan masyarakat yang secara bersama-sama memperjuangkan eksistensi kelompoknya.
Dalam sistem pemerintahan, kelompok masyarakat tersebut diinteg-rasikan ke dalam sistem yang lebih luas yang mencakup bagian-bagian terendah dari strata pemerintahan, dengan berbagai macam sebutan : desa, nagari, kampung, dan sebagainya (saat ini di Tanah Papua disebut KAMPUNG). Di dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 disebutkan pada bab ketentuan umum pasal 1 huruf (L) bahwa :
Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota;
Sementara itu, di dalam ketentuan umum Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 angka 12 dan Peraturan Pemerintah Nomor : 72 Tahun 2005 angka 5 disebutkan bahwa :
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari kedua keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa otonomi kampung memiliki ciri pokok: (a) ada kesatuan masyarakat hukum yang didasarkan pada asal-usul dan adat istiadat; (c) ada wewenang meng-atur dan mengurus kepentingan masyarakat; (d) diakui oleh pemerintah.
·         Kesatuan Masyarakat Hukum
Di dalam suatu kelompok masyarakat, tebentuk norma-norma hukum-nya sendiri yang kemudian berproses, memperoleh pengakuan bersama sehingga berkembang menjadi suatu tatanan nilai yang dipatuhi. Pada konteks itulah, maka tatanan nilai tersebut dijadikan dasar acuan hidup bermasyarakat. Maka, kesatuan masyarakat hukum dimaksudkan sebagai justifikasi atas nilai-nilai adat-istiadat dari suatu kelompok masyarakat. Dengan demikian, maka suatu pemerintahan kampung hendaknya dilandasi oleh nilai-nilai adat-istiadat yang berlaku di dalam kesatuan masyarakatnya.
·         Wewenang Mengatur dan Mengurus
Untuk menjamin keteraturan pelaksanaan nilai-nilai adat-istiadat yang telah terbentuk tersebut dalam kehidupan sosial kemasyarakatan menuju kemandiriannya, maka diperlukan adanya otoritas. Dalam hal i ni, otoritas  pengaturan kepentingan masyarakat dipegang oleh orang atau badan pemerintahan kampung yang dipercayai oleh masyarakat. Terkait dengan itulah diperlukan adanya suatu sistem pemerintahan kampung. Maka, suatu sistem pemerintahan kampung seyogyanya mencerminkan tata nilai yang berlaku di dalam kesatuan masyarakatnya Agar wewenang tersebut dapat dijalankan secara efektif, diperlukan beberapa persyaratan, yaitu : (a) adanya sistem dan kelembagaan pemerintahan yang layak; (b) adanya pemimpin yang kuat dan berwibawa; (c) adanya dukungan masyarakat terhadap pemimpin dan kelembagaan pemerintahannya
·         Pengakuan Pemerintah
Sebagai bagian dari sistem pemerintahan yang lebih luas, pemerintahan kampung tetap membutuhkan pengakuan dari pemerintah Kabupaten/Kota, provinsi, dan bahkan negara. Pengakuan tersebut diwujudkan dalam bentuk pengaturan tentang sistem pemerintahan, misalnya Undang-undang atau peraturan di tingkat bawahnya, yang tidak mengebiri hak-hak dasar, hak-hak khusus kesatuan masyarakat di wilayah kampung itu.
C.    WAJAH KAMPUNG KITA : AGENDA MASA DEPAN
Berawal dari pemaknaan kampung sebagai suatu lembaga adat yang dilegalkan dengan dasar hukum formal, di mana kampung memililiki oto-nomi tetapi bukan merupakan daerah otonomi, telah menimbulkan keran-cuan format tata pemerintahan kampung. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 serta sejumlah peraturan di bawahnya menyiratkan makna bahwa daerah otonom itu hanya ada di Kabupaten/Kota, dan tidaksecara spesifik menyebut-kan di Desa atau sebutan lainnya. Bahkan, kampung dianggap sebagai bagian dari suatu wilayah administratif di bawah distrik, di mana bentuk dan susunan pemerintahannya ditentukan oleh Pemerintah Provinsi menurut ke-adaan dan adat masing-masing dan sesuai dengan hasrat dan kehendak pen-duduknya. Sementara itu, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 belum me-nunjukkan posisi spesifik dari bentuk pemeritahan kampung secara tersurat. Walau diakui bahwa kampung memiliki hak dan wewenang untuk mengurus pemerintahannya sendiri dalam arti luas, tetapi tidak sewenang-wenang.
Maka, agenda ke depan yang harus dilakukan untuk memperkuat posisi, eksistensi dan kemandirian kampung meliputi : Pertama, mereformasi bentuk pemerintahan; Kedua, merevitalisasi kewenangan asal-usul dan adat-istiadat; Ketiga, meredistribusi kewenangan pemerintahan kampung.
1.      Reformasi bentuk pemerintahan :
Seiring dengan dinamika perkembangan paradigma pemerintahan saat ini, kita perlu melakukan adaptasi Tata Pemerintahan Kampung yang dijiwai oleh Undang-undang  Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, di samping memperhatikan perundangan lainnya. Oleh karena Undang-undang  Nomor 21 Tahun 2001 telah mengamanatkan per-ubahan nomenklatur sebutan desa menjadi kampung, maka perlu ditindak-lanjuti dengan penyesuaian bentuk dan model pemerintahan. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini sama sekali tidak perbedaan bentuk dan model pemerintahan ketika masih disebut “desa” dan ketika diubah menjadi “kampung”. Padahal kehendak mengubah sebutan dari desa ke kampung dijiwai oleh kehendak merealisasikan akomodasi “asal-usul dan adat-istiadat” setempat. Maka, ke depan susunan tata pemerintahan kampung haruslah mencerminkan isi dari kehendak tersebut.
2.      Revitalisasi Kewenangan asal-usul dan adat-istadat: Revitalisasi kewe-nangan asal-usul selalu diperjuangkan oleh pemimpin adat -- selama ini seringkali difalisiltasi oleh lembaga-lembaga non-pemerintah, lebih ber-sandar pada sejarah masa lampau. Salah satu aspek krusial dalam hal ini adalah peneguhan entitas lokal sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak-hak khusus, seperti : kepemilikan terutama tanah dan hak ulayat yang selama sering muncul kepermukaan. Dalam konteks peme-rintahan kampung, kewenangan asal-usul dan adat istiadat tersebut harus diberi diterjemahkan dalam fungsi-fungsi pokok pemerintahan untuk diperankan secara konsisten oleh pemerintah kampung.
3.      Redistribusi Kewenangan : kontribusi kewenangan pemerintahan kampung hendaknya beriring dengan otonomi dalam konteks desentralisasi. Semua kewenangan yang sudah diatur dalam PP 76/2001 jo PP 72 Tahun 2005 merupakan bagian dari pengakuan pemerintah terhadap kewenangan dari suprastruktur kampung. Maka, pada konteks ini berlaku sistem pembagian kewenangan secara vertikal antara pemerintahan kampung dan peme-rintahan kabupaten/kota, provinsi, bahkan negara, sehingga masih dikenal juga fungsi tugas pembantuan. Walaupun dinyatakan bahwa Pemerintan Kampung berhak menolak tugas pembantuan tersebut dengan alasan yang dapat diterima. Sementara itu secara horizontal, Kepala kampung dibantu oleh Badan Permusyawaratan Kampung (Bamuskam) sebagaimana disebut-kan di dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 5  (7) bahwa di kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung atau dapat disebut dengan nama lain, dimana Badan Musyawarah Kampung adalah sekum-pulan orang yang membentuk satu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur di dalam kampung tersebut serta dipilih dan diakui oleh warga setempat untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Kampung. Distribusi kewenangan dilakukan secara jelas dan tegas sehingga tidak menimbulkan kesalahan interpretasi yang dapat menimbulkan kerancuan. Menarik untuk mencermati visi-misi Gubernur Provinsi Papua yang me-ngedepankan kembali konsep kepemimpinan 3(tiga) tungku, yang mem-berikan pengakuan terhadap eksistensi : kepala kampung, kepala adat, dan pimpinan agama. 

Ketiga agenda di atas membutuhkan ancangan penguatan capacity building, terutama mencakup :
·         Kapasitas kelembagaan pemerintahan kampung (Pemerintah Kampung dan Badan Permusyawaratan Kampung)
·         Kapasitas kelembagaan sosial kemasyarakatan (termasuk karang taruna, kepemudaan, perempuan, dan lembaga-lembaga pemberdayaan lainnya), kelembagaan adat, dan kelembagaan keagamaan,
·         Kepemimpinan pemerintahan dan kesadaran politik masyarakat kampung
Sebagai bandingan, berikut ditampilkan beberapa indikator tata peme-rintahan terpilih menurut masa berlakunya peraturan pemerintahan desa :

Indikator
Undang-undang  dan Peraturan Pemerintah
No 5/79
No. 22/99
(PP 76/2001)
No.32/2004
(PP 72/2005)
No.21/2001
Peran Negara
Kental/dominan
Kental/dominan
Mulai longgar
Longgar
Eksekutif
Kepala Desa
Kepala Desa
Kepala Desa
Kepala Kampung
Legislatif
LKMD/LMD
LKMD/BMD
BPD/Baperkam
Bamuskam



Kedudukan
Kepala Desa dan LKMD/LMD berada dalam satu tangan, Kepala Desa adalah Ketua LKMD  yang men dominasi LKMD/LMD


Ada pemisahan fungsi Kepala Desa dan BPD



Ada pemisahan fungsi Kepala Desa dan BPD



Ada pemisahan fungsi Kepala Desa dan Bamuskam


Peranan Desa
Desa sebagai unit administrasi
Desa sebagai unit administrasi
Desa sebagai unit pemerintahan oto-nom yg diintervensi
Desa sebagai unit pemerintahan otonom

Kedaulatan Masyarakat


Kedaulatan rakyat tersumbat
Sedikit Terbuka
Terbuka

Rakyat memiliki kedaulatan sejati
Penentuan Pemimpin
Legislatif

Tanpa musyawarah
dan pemilihan, tapi penunjukkan kades
Pemilihan melibat-kan masyarakat
Pemilihan melibat-
kan masyarakat
Pemilihan melibat-kan masyarakat
Kedudukan Kepala Desa
Sebagai ketua
dan mendominasi LMD
Lepas dari
organisasi BPD.
Lepas dari
organisasi Baperkam
Lepas dari Orga-nisasi Bamuskam

Keterlibatan masyarakat
Masyarakat tidak
terlibat. Hanya
sedikit elite desa
yang terlibat.
Masyarakat terlibat memilih, tapi kurang
terlibat dalam proses pembuatan
keputusan.
Masyarakat digalak-kan partisipasi ma-syarakat secara aktif dalam pengelolaan pembangunan
Masyarakat diber-dayakan secara aktif dalam menge-lola pembangunan

D.    PEMERINTAHAN FORMAL VERSUS INFORMAL
Munculnya fenomena dualisme pemerintahan di Kampung saat ini lebih disebabkan tidak terintegrasikannya asal-usul dan adat-istiadat kesatuan masyarakat kampung ke dalam konfigurasi tata pemerintahan formal. Hal ini terkait dengan acuan perundang-undangan yang berlaku, yang secara otomatis memaksa terbentuknya konfigurasi tersebut. Walaupun secara eksplisit disebut-kan bahwa ada kewenangan mengatur dan mengurus sendiri kepentingan masyarakat, tetapi dalam tata susunan struktur dan fungsi pemerintahannya secara implisit masih lebih banyak mengakomodasi kepentingan pemerintah. Akibatnya, muncul kekaburan hubungan antara pemerintahan formal dan informal (Kepala kampung dan Kepala adat), dan sekaligus munculnya ke-bingungan masyarakat karena tidak jelasnya orientasi panutan serta mening-katnya resistensi terhadap pemerintahan formal dengan resiko rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.


 






Terhadap hal tersebut, jalan tengah yang ditempuh selama ini tidak cukup membawa hasil yang memuaskan semua pihak. Pendekatan koordinasi antara kedua sumber otoritas tersebut, justru menimbulkan kekacauan sistem, karena koordinasinya tidak dibangun secara sinergis melainkan terkesan hanya “tambal sulam”, dan bagaimanapun bangunan koordinasi tersebut tidak dimaksudkan untuk mengurangi intervensi pemerintah. Sistem koordinasi yang demikian itu, sangat rapuh, karena tidak disertai pengaturan formal mengenai pembagian tugas dan fungsi yang jelas, serta distribusi wewenang dan tanggung jawab yang jelas. Maka, dalam kesehariannya, kedua sumber otoritas tersebut hanya disibukkan pada “saling curiga” satu sama lain. Kepala kampung lebih memberikan justifikasi perannya sebagai bagian dari admi-nistrasi pemerintahan dari distrik, dan bukan sebagai pemerintahan yang otonom. Sementara itu, Kepala Adat, tidak memiliki justifikasi formal untuk menjalankan kekuasaan yang otonom sesuai dengan asal-usul dan adat-istiadatnya.

E.     MODEL PEMERINTAHAN KAMPUNG : ALTERNATIF TERSARAN
Sebagai bagian dari upaya Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat sebagaimana disebutkan di dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 43, bahwa :
1.      Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.
2.      Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masya-rakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
3.      Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 telah diatur urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa yang mencakup mencakup 3 hal yaitu :
1.      Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa.
2.      Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa.
3.      Tugas pembantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan yang diserahkan kepada Desa.
Maka, berdasarkan pokok pikiran di atas, dan dengan memper-hatikan situasi dan kondisi masyarakat serta peraturan perundangan yang berlaku, berikut ini diusulan 3(tiga) model pemerintahan kampung untuk didiskusikan secara mendalam. Tentu saja model-model tersebut sangat terbuka untuk direformulasikan kembali.
1.      Model Konsep Pemerintahan “Instersepsi”
Model ini didasarkan pada konfigurasi pemerintahan kampung yang berlaku saat ini dengan intersepsi pengaruh pada lembaga Baperkam, di mana unsur-unsur Baperkam berasal dari kalangan adat, agama, perempuan, dan pemuda. Komposisi jumlah keaanggotaannya secara seimbang yang dipilih oleh masyarakat berdasarkan komptensi dan kapasitasnya. Penanganan budaya dan adat-istiadat diintersepsikan ke dalam tugas dan fungsi Baperkam. Kepala Kampung dipilih secara demokratis oleh rakyat dari unsur mana saja
Model 1. Konsep Pemerintahan Intersepsi

 






2.      Model Konsep Pemerintahan “3 Tungku”
Model ini, mencoba mengkonfigurasikan kembali visi Gubernur Provinsi Papua saat ini yang pernah populer pada tahun 90an, di mana fungsi-fungsi pemerintahan diperankan oleh 3(tiga) pihak dengan batas-batas kewenangan-nya masing-masing, yaitu : Kepala Kampung dan perangkatnya, Kepala Adat, dan Pimpinan Lembaga keagamaan. Dalam implementasinya, lembaga keagaman lebih berperan sebagai mediator antara Kepala Kampung dan Kepala Adat untuk urusan-urusan pemerintahan. Dengan formasi model ini, tampak ada jaminan yang lebih besar terhadap akomodasi asal-usul dan adat-istiadat masyarakat dalam sistem pemerintahan kampung.
Sama halnya dengan model pertama, pemerintahan kampung terdiri dari Kepala Kampung dan Badan Permusyawaratan Kampung yang memiliki kedudukan seimbang. Bahkan Baperkam dapat dijelmakan sebagai Majelis Rakyat Kampung, yang keanggotaanya dipilih oleh masyarakat dari unsur-unsur : adat, agama, perempuan, dan pemuda. Sementara itu, Kepala Kampung dipilih secara demokratis oleh rakyat dari unsur mana saja, sedangkan lembaga mediasi ditunjuk oleh lembaga agama yang berwenang.
Model 2. Konsep Pemerintahan 3 Tungku


 









3.      Model Konsep Pemerintahan “Afiliasi”
Model ini mencoba menunjukkan posisi Kepala Adat secara totalitas dalam tata pemerintahan formal di kampung. Dengan memposisikan Kepala Adat sebagai Kepala Kampung, dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang kuat bagi tingginya partisipasi masyarakat dalam mendukung jalannya roda pemerintahan dan suksesnya pembangunan di kampung.
Model 3. Konsep Pemerintahan Afiliasi


 






Dengan demikian, afiliasinya menjadi jelas terarah pada kepentingan masyarakat kampung. Agar model ini dapat diimplementasikan, maka diperlukan suatu aturan khusus dalam sistem pemilihannya. Diperlukan tatacara pemilihan yang demokratis, tanpa harus mengebiri prinsip-prinsip demokrasi itu. Misalnya saja, meminjam model rekruitmen kepemimpinan dari suatu Partai yang menggunakan sistem konvensi dalam menentukan siapa-siapa saja yang direkomendasikan maju ke pemilihan Kepala Kampung.
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, dibantu oleh Bamuskan dengan komposisi sama dengan kedua model terdahulu.
F.      PENUTUP
Demikianlah pokok-pokok pikiran ini diajukan dalam kesempatan seminar dan lokakarya ini semoga ada manfaatnya, minimal untuk meng-hantarkan para peserta mencari solusi terbaik, karena apapun yang diungkap-kan dalam tulisan ini sama sekali belumlah merupakan solusi terbaik.
Akhirnya, perlu diingatkan kepada kita semua untuk :
1.      Model apapun yang terpilih hendaknya memposisikan pemerintahan kampung sebagai pemerintahan yang otonom secara rill dan bertanggung jawab. Peluang pemerintah Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Negara untuk ikut serta membangun kampung tetap terbuka lebar tetapi sama sekali tidak melakukan intervensi terhadap tata pemerintahannya. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 pasal 10 ayat (3) bahwa Desa berhak menolak melaksanakan tugas pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana dan sarana, serta sumber daya manusia.
2.      Di wilayah kesatuan masyarakat hukum yang bersifat heterogen, perlu dipikirkan untuk dialihkan statusnya menjadi kelurahan (misalnya di kesatuan masyarakat transmigrasi) dengan memperhatikan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan.
3.      Perlu direkomendasikan usul penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Pemeritahan kampung berdasarkan UU 21 Tahun 2001, Usul penerbitan Perdasus tentang Pemerintahan Kampung, dan Usul revisi Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura sesuai jiwa UU 21 tahun 2001.




Read more