Pages

gus dur

gus dur

Kamis, 14 April 2011

demokrasi desa

Selama ini suksesi Pilkades tidak pernah kering dari pembicaraan mulai dari mulut kemulut, dari pena ke pena, dan dari otak ke otak. Hal ini terjadi mengingat karena Pilkades adalah refleksi bagaimana demokrasi itu coba diimplementasikan. Disisi lain Pilkades merupakan sarana sirkulasi elit dan transfer kekuasaan di tingkat lokal. Dalam konteks ini Pilkades diharapkan secara langsung membuat masyarakat mengerti akan hak dan kewajibannya. Pilkades adalah suatu moment dimana masyarakat mengerti posisi mereka sebagai warga dalam percaturan politik di desa tersebut. Dimana terjadi proses interaksi antara rakyat dan pemerintah sebagai wujud adanya demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Dimaklumi bersama, Pilkades tidak sesederhana apa yang kita bayangkan. Di dalamnya berimplikasi tentang banyak hal mengenai hajat hidup dan kepentingan orang banyak. Mulai dari proses, hasil hingga pasca kegiatan Pilkades adalah satu kesatuan yang utuh dan erat terkait di dalam menentukan arah dan agenda enam tahun ke depan ke mana desa tersebut akan dibawa.

Demokrasi desa adalah bingkai pembaharuan terhadap tata pemerintahan desa atau hubungan antara pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa, (BPD) dan elemen-elemen masyarakat desa yang lebih luas. Saya hendak mengedepankan argumen bahwa desa harus “dibela” dan sekaligus harus “dilawan” dengan demokrasi.

Mengapa desa harus “dibela” tetapi juga harus “dilawan”? Bagaimana kita meletakkan desa dalam konteks demokrasi lokal? Seperti apa formulanya? Bagaimana membuat demokrasi bisa bekerja di desa? Untuk menjawab serangkaian pertanyaan itu, tulisan ini hendak menyandarkan diri pada prinsip yang demokratis.

Dalam memahami demokrasi di tingkat lokal ini, kita tidak boleh terjebak pada seremonial, prosedur dan lembaga yang tampak di permukaan. Prosedur dan lembaga memang sangat penting, tetapi tidak mencukupi. Yang lebih penting dalam demokrasi adalah proses dan hubungan antara rakyat secara substantif. Pemilihan kepala desa juga penting tetapi yang lebih penting dalam proses politik sehari-hari yang melibatkan bagaimana hubungan antara Pemerintah Desa, BPD, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan masyarakat.

Dinamika Desa

Diketahui bersama bahwa pengaturan mengenai desa kembali mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai desa di dalam UU No. 32 Tahun 2004 kemudian ditindaklanjuti oleh PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam hal kewenangan secara prinsipil tidak ada perubahan yang mendasar dalam pengaturan mengenai kewenangan desa. Sama halnya dengan UU No. 22 Tahun 1999, desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten, yang dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 7 PP No. 72 Tahun 2005.

Dari moment itu pula, pencerahan dapat dilakukan. Dimana arahnya yaitu menguak tentang pemahaman Desa Mandiri. Sesuai amanat UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 Kepala Desa nantinya harus mampu mengimbangi laju perkembangan pemerintahan. Artinya profesionalitas seorang Kepala Desa jauh sekali lebih penting jika dibandingkan dengan aturan sebelumnya. Kepala Desa dituntut mempunyai inisiatif untuk mengoptimalkan potensi desa, tertib administrasi, akuntabel (bertanggung jawab) dengan mekanisme pertanggungjawaban sesuai dengan prosedurnya.

Persoalannya sekarang apakah Desa sudah mandiri dalam melaksanakan Governance atau tidak? Jawabannya mungkin sudah jelas: belum mandiri. Tetapi pertanyaan yang lebih penting adalah: bagaimana kemandirian desa dalam melaksanakan Governance itu dapat didorong sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakatnya?

Kemandirian Desa dalam meningkatkan kesejahteraan para warganya terletak pada kemampuan komponen Governance yang ada dalam desa itu untuk mengorganisir sendiri semua potensi yang tersedia (Embedded) dalam lingkungannya. Namun tanpa kepiawaian birokrasi dan kemauan kuat dari pemangku jabatan politis, jangan-jangan malah “jauh panggang dari api”. Karena itu, dari sisi proses, diharapkan Pilkades harus terselenggara dengan lancar, jujur dan adil serta tidak ada kekerasan. artinya, Pilkades oleh semua stakeholders, elit dan warga desa hendaknya tidak hanya dijadikan sebagai upaya pencerahan (enlightening) dan perekat berbagai komponen masyarakat, tetapi mampu pula mendorong terjadinya perubahan menuju kehidupan demokrasi substansial dan tata pemerintahan yang efektif.

Dengan kata lain kekuasaan yang diperoleh Kepala Desa harus melalui kompetisi politik yang sehat dan terbuka. Dengan demikian, kita harus membuka ruang publik yang lebih terbuka yang oleh Sosiolog Jerman Juergen Habermas dikatakan sebagai suatu proses yang mana masyarakat secara terbuka dan bebas untuk melakukan perdebatan, sehingga menjadikan dinamika politik lebih demokratis. Sebaliknya, harus dihindari perilaku politik yang mengarah ke hegemoni politik yang justru seringkali menggunakan cara-cara yang bersifat represif yang pada akhirnya mematikan aspirasi rakyat.

Indikator esensi terselenggaranya Pilkades dengan lancar, bermakna pada dua hal, yaitu dari aspek panitia itu sendiri. Fungsi seperti seleksi bakal calon yang dilakukan panitia telah dilaksanakan secara terbuka tidak hanya didominasi elit desa, tetapi melibatkan perwakilan tokoh masyarakat, yang mana proses dan hasilnya bisa diakses publik secara luas.

Selanjutnya dari persfektif kinerja penyelenggaraan, mulai dari proses penganggaran, penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan calon kepala desa, masa kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penentuan saksi di lapangan, pengawasan, penetapan kepala desa terpilih, hingga pengesahan dan pelantikan dapat dipastikan tidak menimbulkan konflik yang berakibat terganggunya kegiatan publik, di mana nilai-nilai kejujuran, profesionalisme semua pihak dan sikap transparansi lebih dikedepankan daripada kepentingan sesaat lainnya. Kedua, dari sisi hasil pilkades dapat menelorkan produk rekrutmen politik berupa terpilihnya kepala desa yang mempunyai basis legitimasi yang kokoh baik secara yuridis maupun politis.

Secara yuridis, artinya kepala desa yang terpilih dalam Pilkades adalah yang telah memenuhi semua kualifikasi seperti yang ditentukan dalam UU dan PP tentang Pilkades. Secara politis, kepala desa terpilih selain berkualitas dan yang tidak kalah penting mereka adalah yang bermoralitas, sehingga mampu memenangkan hati semua pihak di desa. Realitasnya berupa penerimaan atau pengakuan secara luas dari kalangan masyarakat.

Indikator penerimaan atau pengakuan secara luas, meliputi: terlihat dari pemahaman yang baik tentang kondisi daerah/desa yang akan dipimpinnya; mempunyai visi yang jauh ke depan terutama dalam menghadapi pusaran gelombang globalisasi; isu good governance dan tuntutan demokrasi parsipatoris; bisa mensinergikan potensi yang ada (SDA, SDM dan kelembagaan); berempati dan peduli terhadap masalah ketidakadilan, kemiskinan, keterbelakangan; punya komitmen kuat terhadap pemberantasan KKN dan sebagainya. Dengan demikian masyarakat yakin, terpilihnya pemimpin baru merupakan starting point terjadinya perbaikan secara signifikan kehidupan mereka, dan kepala desa terpilih adalah figur terbaik juga paling berkompeten memimpin desa di masa enam tahun ke depan.

Pasca Pilkades, terpilihnya seorang Kepala Desa hendaknya dapat memberikan kontribusi optimal dan signifikan terhadap perbaikan kualitas pemerintahan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Kepala Desa harus mampu mendesain birokrasi pemerintahan desa dari semula sebuah lembaga yang mempunyai kinerja buruk, tidak lincah dan telmi (telat mikir) mengantisipasi perubahan menjadi birokrasi yang produktif, responsif, cekatan serta dihuni orang-orang yang berkapabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dipercayakan kepadanya. Kapabilitas itu antara lain terwujud dalam bentuk kemampuan mereka untuk menggerakkan secara efektif gerbong birokrasi lokal, sehingga performanya meningkat dan yang tak kalah pentingnya adalah kesediaan dari organisme birokrasi itu sendiri untuk melakukan perubahan.

Berkaitan dengan kemandirian desa yang terletak pada komponen Governance untuk mengorganisir sendiri semua potensi yang tersedia dalam lingkungannya. UNDP (1990) merekomendasikan beberapa karakteristik Good Governance, yaitu legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial), manajemen bidang publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya. Sedangkan Asian Development Bank sendiri menegaskan adanya konsensus umum bahwa “good governance” dilandasi oleh empat pilar yaitu (1) accountability, (2) transparency, (3) predictability, dan (4) participation.

Prinsip yang dianggap sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu (1) Akuntabilitas, (2) Transparansi, dan (3) Partisipasi Masyarakat. Ketiga prinsip ini tidaklah dapat berjalan sendiri-sendiri. Ada hubungan erat dan saling mempengaruhi. Masing-masing bagian adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai prinsip yang lainnya, dan ketiganya adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai manajemen publik yang baik. Walaupun begitu, akuntabilitas menjadi kunci dari semua prinsip ini

Berkaitan dengan akuntabilitas, Ismail (2004), mengatakan bahwa akuntabilitas secara filosofi timbul karena adanya kekuasaan yang berupa mandat/amanah yang diberikan kepada orang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan sarana pendukung yang ada.

Dalam perspektif ini artinya akuntabilitas pemerintah desa tidak dapat diketahui tanpa pemerintah memberitahukan kepada rakyat tentang informasi sehubungan dengan pengumpulan sumber daya dan sumber dana masyarakat beserta penggunaannya untuk kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain bahwa pihak yang diberikan mandat/amanah harus memberikan laporan pertanggungjawaban atas tugas yang dipercayakan kepadanya dengan mengungkapkan segala sesuatu yang dilakukan, dilihat, dirasakan baik yang mencerminkan keberhasilan maupun kegagalan. Dan yang lebih penting lagi bahwa laporan pertanggungjawaban tersebut bukan sekedar laporan kepatuhan dan kewajaran pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan yang berlaku, namun termasuk juga kinerja dari pelaksanaan suatu manajemen strategis yang mampu menjawab pertanyaan mendasar tentang apa yang harus dipertanggungjawabkan.

Pengelolaan Kebijakan Desa

Sebuah kebijakan (Peraturan Desa) yang demokratis apabila berbasis masyarakat: berasal dari partisipasi masyarakat, dikelola secara bertanggungjawab dan transparan oleh masyarakat dan digunakan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat. Dari sisi konteks, Peraturan Desa (Perdes) berbasis masyarakat berarti setiap Perdes harus relevan dengan konteks kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan kata lain, Perdes yang dibuat bukan sekadar merumuskan keinginan elite desa atau hanya untuk menjalankan instruksi dari pemerintah supradesa. Secara substansi, prinsip dasarnya bahwa Perdes lebih bersifat membatasi yang berkuasa dan sekaligus melindungi rakyat yang lemah. Paling tidak, Perdes harus memberikan ketegasan tentang akuntabilitas pemerintah desa dan BPD dalam mengelola pemerintahan desa.

Dipandang dari “manfaat untuk masyarakat”, Perdes dimaksudkan untuk mendorong pemberdayaan masyarakat: memberi ruang bagi pengembangan kreasi, potensi dan inovasi masyarakat; memberikan kepastian masyarakat untuk mengakses terhadap barang-barang publik; memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa. Sedangkan untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan, Perdes harus bersifat membatasi: mencegah eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan warga masyarakat; melarang perusakaan terhadap lingkungan, mencegah perbuatan kriminal; mencegah dominasi suatu kelompok kepada kelompok lain, dan lain sebagainya.

Sesuai dengan logika demokrasi, Perdes berbasis masyarakat disusun melalui proses siklus kebijakan publik yang demokratis: artikulasi, agregasi, formulasi, konsultasi publik, revisi atas formulasi, legislasi, sosialisasi, implementasi, kontrol dan evaluasi. Dalam setiap sequen ini, masyarakat mempunyai ruang (akses) untuk terlibat aktif menyampaikan suaranya. Artikulasi adalah proses penyerapan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh BPD maupun pamong desa. Agregasi adalah proses mengumpulkan, mengkaji dan membuat prioritas aspirasi yang akan dirumuskan menjadi Perdes. Formulasi adalah proses perumusan rancangan Perdes yang bisa dilakukan oleh BPD dan/atau oleh Pemerintah Desa.

Konsultasi adalah proses dialog bersama antara Pemerintah Desa dan BPD dengan masyarakat. Masyarakat mempunyai ruang untuk mencermati, mengkritisi, memberi masukan dan merevisi terhadap naskah Raperdes. Pemerintah desa dan BPD wajib melakukan revisi terhadap raperdes berdasarkan umpan balik dari masyarakat dalam proses konsultasi sebelumnya. Naskah Raperdes yang sudah direvisi kemudian disahkan (legislasi) menjadi perdes oleh Pemerintah Desa dan BPD. Sebelum Perdes diimplementasikan, maka Pemerintah Desa dan BPD wajib melakukan sosialisasi publik, untuk memberikan informasi tentang perdes agar masyarakat tahu dan siap ikut melaksanakan perdes itu. Jika sosialisasi sudah mantap, maka perdes bisa dijalankan (implementasi). Berbarengan dengan proses implementasi, ada proses kontrol dan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah desa, BPD dan juga masyarakat. Penilaian berbagai pihak ini menjadi umpan balik untuk bahan inovasi terhadap implementasi, dan jika masalah terlalu berat maka umpan balik bisa digunakan sebagai pijakan untuk merevisi Perdes.

Kepemimpinan dan Kepemerintahan

Pemerintahan di Indonesia telah lama tidak menumbuhkan kultur leadership yang transformatif, melainkan hanya menumbuhkan budaya priyayi, perhambaan, klientelisme, birokratis dan headship. Masalah ini merupakan tantangan serius bagi pembaharuan kepemimpinan dan kepemerintahan desa. Kepemimpinan di desa tidak bisa lagi dimaknai sebagai priyayi benevolent maupun kepemimpinan yang birokratis, melainkan harus digerakkan menuju kepemimpinan transformatif. Yaitu para pemimpin desa yang tidak hanya rajin beranjangsana, melainkan para pemimpin yang mampu mengarahkan visi jangka panjang, menggerakan komitmen warga desa, membangkitkan kreasi dan potensi desa.

Pemerintah Desa, tentu, tidak lagi merupakan institusi tradisional yang dibingkai dengan tradisi komunalisme. Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara modern yang bertugas mengelola barang-barang publik, termasuk melakukan pungutan pajak pada warga masyarakat. Sebagai institusi modern, pemerintah desa tidak cukup hanya memainkan legitimasi simbolik dan sosial, tetapi harus membangun legitimasi yang dibangun dari dimensi kinerja politik dan kinerja ekonomi. Legitimasi ini harus melewati batas-batas pengelolaan kekuasaan dan kekayaan secara personal di tangan kepala desa, seraya dilembagakan dalam sistem yang impersonal. Legitimasi pemerintah desa mau tidak mau harus disandarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi dan responsivitas.

Pertama, akuntabilitas menunjuk pada institusi dam proses checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. Pemerintah desa disebut akuntabel bila mengemban amanat, mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh warga. Secara gampang, pemerintah desa disebut akuntabel bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, tidak melakukan penyimpangan, tidak berbuat korupsi, tidak menjual tanah kas desa untuk kepentingan pribadi, dan seterusnya. BPD dan masyarakat adalah aktor yang melakukan kontrol untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintah desa. Dalam melakukan kontrol kebijakan dan keuangan, BPD mempunyai kewenangan dan hak untuk menyatakan pendapat, dengar pendapat, bertanya, penyelidikan lapangan dan memanggil pamong desa. Ketika ruang BPD ini dimainkan dengan baik secara impersonal, maka akan memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap akuntabilitas pemerintah desa. Meskipun tidak ditegaskan dalam perangkat peraturan, menurut standar proses politik, masyarakat juga mempunyai ruang untuk melalukan kontrol dan meminta pertanggungjawaban pemerintah desa. Pemerintah desa, sebaliknya, wajib menyampaikan pertanggungjawaban (Laporan Pertanggungjawaban- LPJ) tidak hanya kepada BPD, melainkan juga kepada masyarakat. Ketika kepala desa keliling beranjangsana ke berbagai komunitas tidak hanya digunakan untuk membangun legitimasi simbolik, tetapi juga sebagai arena untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada warga.

Kedua, transparansi (keterbukaan) dalam pengelolaan kebijakan, keuangan dan pelayanan publik. Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi mengenai kebijakan, keuangan dan pelayanan. Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau atau menerima umpan balik dari masyarakat. Transparansi tentu mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan desa, termasuk alokasi anggaran desa. Sebagai sebuah media akuntabilitas, transparansi dapat membantu mempersempit peluang korupsi di kalangan pamong desa karena terbukanya segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.

Ketiga, responsivitas atau daya tanggap pemerintah desa. Pemerintah desa dan BPD harus mampu dan tanggap terhadap aspirasi maupun kebutuhan masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai preferensi utama pengambilan keputusan di desa. Responsif bukan hanya berarti pamong desa selalu siap-sedia memberikan uluran tangan ketika warga masyarakat membutuhkan bantuan dan pelayanan. Responsif berarti melakukan artikulasi terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, yang kemudian mengolahnya menjadi prioritas kebutuhan dan memformulasikannya menjadi kebijakan desa. Pemerintah desa yang mengambil kebijakan berdasarkan preferensi segelintir elite atau hanya bersandar pada keinginan kepala desa sendiri, berarti pemerintah desa itu tidak responsif. Apakah betul pembangunan prasarana fisik desa merupakan kebutuhan mendesak (prioritas) seluruh warga masyarakat? Apakah rumah tangga miskin membutuhkan jalan-jalan yang baik dan rela membayar pungutan untuk proyek pembangunan jalan? Karena itu, pemerintah desa bisa disebut responsif jika membuat kebijakan dan mengalokasikan anggaran desa secara memadai untuk mengangkat hidup rumah tangga miskin ataupun mendukung peningkatan ekonomi produktif rumah tangga.

Partisipasi Masyarakat

Teori demokrasi mengajarkan bahwa demokratisasi membutuhkan hadirnya masyarakat sipil yang terorganisir secara kuat, mandiri, semarak, pluralis, beradab, dan partisipatif. Partisipasi merupakan kata kunci utama dalam masyarakat sipil yang menghubungkan antara rakyat biasa (ordinary people) dengan pemerintah. Partisipasi bukan sekadar keterlibatan masyarakat dalam pemilihan kepala desa dan BPD, tetapi juga partisipasi dalam kehidupan sehari-hari yang berurusan dengan pembangunan dan pemerintahan desa. Secara teoretis, partisipasi adalah keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbeda titik tekannya. Inclusion menyangkut siapa saja yang terlibat, sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan berarti memberi ruang bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik, terutama kelompok-kelompok masyarakat miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.

Gaventa dan Valderama (1999), mencatat ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan praksis pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu: partisipasi politik, partisipasi sosial, dan partisipasi warga. Diskusi yang lebih luas mengenai partisipasi telah menempatkan “partisipasi warga” baik sebagai konsep maupun praktek yang niscaya berbeda dengan partisipasi politik yang lebih menekankan ‘representasi’ dan partisipasi sosial yang menempatkan partisipasi ‘diluar’ lembaga kepemerintahan, partisipasi warga menekankan pada ‘partisipasi langsung’ warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan.

Partisipasi merupakan hak politik yang melekat pada warga sebagaimana hak politik lainnya. Karena melekat, maka hak ini tidak hilang ketika ia memberikan mandat pada orang untuk duduk dalam lembaga pemerintahan. Pemberian mandat bersifat parsial, yaitu mendudukan wakilnya untuk membahas dan memutuskan urusan publik di lembaga formal kenegaraan. Sedangkan hak politik -- sebagai hak asasi manusia -- tetap melekat pada setiap individu yang bersangkutan. Untuk itu adalah hak setiap warga untuk menjaga ruang publik dari intervensi negara, mengagregasikan persoalan dan berbagai kepentingan di ruang publik, merancang agenda publik, dan terus menerus mengawasi lembaga perwakilan dan pemerintahan agar bekerja sesuai dengan mandat yang diberikan.

Disisi lain partisipasi harus dilakukan secara sistemik bukan hal yang insidental. Dalam partisipasi politik, partisipasi yang memiliki arti biasanya hanya dilakukan dalam siklus peristiwa politik untuk memilih dan mendudukan Kades terpilih atau dalam konsep partisipasi sosial partisipasi dihubungkan dengan siklus proyek. Partisipasi warga memungkinkan warga terlibat secara sistemik dan terus menerus dalam pengambilan keputusan publik. dalam konteks ini kita perlu mendorong warga untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan publik secara langsung

Secara substantif partisipasi mencakup tiga hal. Pertama, voice (suara): setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam proses pemerintahan. Pemerintah, sebaliknya, mengakomodasi setiap suara yang berkembang dalam masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai basis pembuatan keputusan. Kedua, akses, yaitu setiap warga mempunyai kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi pembuatan kebijakan, termasuk akses dalam layanan publik. Ketiga, kontrol, yaitu setiap warga atau elemen-elemen masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan (kontrol) terhadap jalannya pemerintahan maupun pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah.

Dalam konteks pembangunan dan pemerintahan desa, partisipasi masyarakat terbentang dari proses pembuatan keputusan hingga evaluasi. Proses ini tidak semata didominasi oleh elite-elite desa (pamong desa, BPD, pengurus RT maupun pemuka masyarakat), melainkan juga melibatkan unsur-unsur lain seperti perempuan, pemuda, kaum tani, buruh, dan sebagainya. Dari sisi proses, keterlibatan masyarakat biasa bukan dalam konteks mendukung kebijakan desa atau sekadar menerima sosialisasi kebijakan desa, melainkan ikut menentukan kebijakan desa sejak awal. Partisipasi dalam pembangunan desa, misalnya, bisa dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam merumuskan kebijakan pembangunan (Rencana Pembagunan Jangka Menengah Desa, program pembangunan dan APBDes, dan lain-lain), antara lain melalui forum RT, musrenbangdus, musrenbangdes maupun rembug desa. Forum-forum tersebut juga bisa digunakan bagi pemerintah desa untuk mengelola proses akuntabilitas dan transparansi, sementara bagi masyarakat bisa digunakan untuk voice, akses dan kontrol terhadap kebijakan pemerintah desa.

Kontrol masyarakat terhadap elite lokal merupakan indikator penting dalam partisipasi, sebagai arena yang memungkinkan elite lokal itu bertanggungjawab dan tanggap terhadap kepentingan warga. Kontrol bisa dilakukan dengan hadirnya institusi pemantau (watch dogs), dan yang lebih penting adalah terlembaganya mekanisme petisi, mosi tidak percaya, atau recalling terhadap elite lokal oleh masyarakat. Masyarakat pemilih (konstituen), misalnya, bisa menarik diri terhadap wakil rakyat yang terbukti tidak bertanggungjawab atau tidak menjalankan amanat rakyat. Tentu saja ruang kontrol masyarakat harus dilegalkan dalam aturan main baik Undang-undang, Peraturan Daerah maupun Peraturan Desa.

Membangun masyarakat partisipatif di desa tidak harus berangkat dari titik nol. Meski sebagian besar organisasi di desa bersifat korporatis (bentukan dari atas secara seragam), tetapi organisasi itu bisa dibingkai ulang dengan bersandar pada prinsip partisipasi. Masyarakat bisa memanfaatkan organisasi-organisasi lokal (RT, RW, LKMD, LPMD, PKK, arisan, karang taruna, kelompok tani, dan lain-lain), bukan hanya untuk kegiatan seremonial, tetapi juga bisa digunakan sebagai basis partisipasi dalam pembangunan dan pemerintahan desa. Di desa sekarang, sebenarnya telah tumbuh kesadaran baru untuk membangun organisasi lokal yang berbasis pada prakarsa masyarakat secara mandiri. Di Desa Sambongrejo Kecamatan Semanding, Kab. Tuban misalnya, tumbuh sebuah organisasi bernama Kelompok Tani Penghijauan UP UPSA Wonoasri, Kelompok Tani Sumber Mulya, dan Lumbung Desa yang digerakkan oleh para tokoh masyarakat untuk pengembangan ekonomi ditingkat lokal dengan basis partisipasi.

0 komentar:

Posting Komentar