Pages

gus dur

gus dur

Kamis, 14 April 2011

Perkembangan Pemerintahan Desa dan Peran Kepala Desa Menurut UU No. 32/2004 serta Implikasinya terhadap Efektivitas Penyelenggaraan Otonomi Daerah



S
ejumlah besar kepala desa dan pemong desa – menurut pemberitaan koran ada yang menyebut jumlah 10.000 orang (Jawa Pos), 3.000 orang (Republika), 2000-an (Surya), sementara Kompas hanya menyebut ribuan kepala desa – berasal dari Jawa dan Bali (ada juga pemberintaan yang menyebut asal Lampung), mengatasnamakan diri mereka terhimpun dalam Parade Nusantara (Persatuan Kepala Desa dan Perangkat Desa Nusantara) melakukan unjuk rasa di Jakarta, Rabu, 8 Maret 2006. Pada mulanya aksi ini dilakukan di lapangan sepak bola dalam kompleks Gedung DPR/DPD/MPR, Senayan. Aksi di DPR ini sempat ditemui beberapa orang pimpinan DPR dan fraksi-fraksi. Selain itu, di antara pengunjuk rasa juga ada yang diterima berdialog dengan pimpinan Komisi II dan fraksi-fraksi di DPR secara terpisah. Para pengunjuk rasa menuntut dilakukan amandemen terhadap UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (yang menggantikan UU No. 22/1999), khususnya pasal-pasal yang mengatur pembatasan masa jabatan kepala desa, serta menuntut revisi atas Peraturan Pemerintah No. 72/2005 tentang Desa. Secara lebih rinci tuntutan yang diajukan di antaranya mencakup hal-hal berikut:
¢  Agar para kepala desa diperbolehkan menjadi pengurus partai politik;
¢  Masa jabatan kepala desa ditambah dari enam tahun, sebagaimana diatur UU No. 32/2004, menjadi sepuluh tahun;
¢  Dana perimbangan agar dinaikkan dari 10% menjadi 20%;
¢  Penyelenggaraan pemilihan kepala desa agar dibiayai APBD;
¢  Sekretaris desa dan perangkat desa lainnya, yang memenuhi syarat, diangkat menjadi PNS.
Mengingat yang dituntut adalah amandemen undang-undang, yang berarti harus diselesaikan bersama antara DPR dan Presiden, mereka juga kemudian melakukan long march menuju Departemen Dalam Negeri untuk menemui Menteri Dalam Negeri, Muh. Maruf demi mengajukan tuntutan yang sama. Di Departemen Dalam Negeri perwakilan pengunjuk rasa sempat berdialog dengan Menteri Dalam Negeri, yang pada hari itu juga menggelar jumpa pers untuk menanggapi aksi para kepala desa tersebut. Dalam keterangannya, antara lain, Menteri: (i) meminta pengunjuk rasa segera kembali ke desanya masing-masing untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat (tugas kepala desa ada di desa, dan kepergian mereka ke Jakarta dinilai merugikan pelayanan publik); (ii) menanggapi isi tuntutan yang diajukan para pengunjuk rasa dengan menyatakan akan mempertimbangkan sebagian tuntutan (perbaikan kesejahteraan dengan menaikkan gaji, honorarium, tunjangan), tetapi menolak atau tidak langsung dapat menanggapi substansi sebagian tuntutan lainnya karena alasan tertentu. Tentang tuntutan melakukan amandemen terhadap UU No. 32/2004 diberikan alasan bahwa: (a) mengubah undang-undang memerlukan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR, sehingga tak bisa diputuskan sesaat, melainkan harus dilakukan pengkajian bersama; (b) untuk mengubah undang-undang diperlukan waktu untuk memraktikannya terlebih dahulu sekurangnya selama dua tahun, sehingga diperoleh dasar, bahan, dan bukti empirik yang cukup untuk dievaluasi dan dikaji (agak komprehensif) pertimbangan-pertimbangan perlu tidaknya dilakukan perubahan-perubahan. Dengan kata lain, kalau hendak mengamandemen UU No. 32/2004 hendaklah tidak sekadar mempertimbangkan kepentingan kepala desa saja.
            Para pengunjuk rasa tidak puas dengan hasil pertemuan dan sikap Menteri Dalam Negeri – yang oleh salah seorang tokoh mengunjuk rasa, Slamet Rahardjo, dinilai tidak appreciate – mereka kemudian (meskipun hari makin petang dan melampaui batas waktu yang dibenarkan untuk melakukan unjuk rasa) melanjutkan berunjuk rasa di depan Istana Merdeka. Peringatan polisi diabaikan, bahkan di depan Istana Merdeka ini mereka meningkatkan tuntutan, melakukan aksi yang lebih dramatis, bahkan mengeluarkan ultimatum dan ancaman apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi. Para pengunjuk rasa kini menuntut pengunduran diri atau pemecatan Menteri Dalam Negeri, Muh. Ma’ruf, mereka juga mencopot dan membakar sebagaian baju-baju dinas mereka – yang notabene merupakan salah satu simbol status yang dibanggakan dan dikejarnya – serta mengancam akan memboikot pemerintahan atau mogok kerja apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi. Hari itu juga mereka menyatakan mulai melaksanakan ancamannya, tidak bersedia memungut PBB, tidak bersedia melaksanakan tugas-tugas yang diberikan, baik oleh Bupati, Gubernur, maupun Presiden, sampai dengan Presiden memberhentikan Menteri Dalam Negeri.
            Unjuk rasa ini sungguh dapat dikatakan sebagai sesuatu yang luar biasa, baik pelakunya, isi tuntutannya, bahkan ancamannya. Dalam konteks sosio-kultural, tata hukum, maupun politik selama ini para kepala desa cenderung ditempatkan dalam posisi khusus yang relatif terhormat, dan tidak terbayangkan akan melakukan protes secara kolektif dengan melibatkan ribuan orang secara beramai-ramai ke Jakarta. Adakah persoalan yang sangat serius dan mendesak di balik mobilisasi protes demonstratif ini, sehingga tidak ada kekuatan yang mencegahnya? Apakah mereka tidak menemukan cara lain yang masih bisa dipercaya untuk menyalurkan dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi?

Pengaturan tentang Desa dalam UU No. 32/2004

            Landasan pemikiran dalam pengaturan tentang desa yang dianut UU No. 32/2005 sesungguhnya tetap mempertahankan apa yang dianut dalam UU No. 22/1999, yaitu keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Landasan ini sangat kontras dibanding yang dianut sebelumnya dalam UU No. 5/1979 yang dinyatakan secara tegas mengarah pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional. UU No. 5/1979 bermaksud memperkuat pemerintah desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan penyelenggaraan administrasi desa yang makin meluas dan efektif. UU No. 5/1979 menunjuk warisan pengaturan kolonial (IGO dan IGOB) yang tidak mengatur pemerintahan desa secara seragam dan dinilai kurang memberi dorongan kepada masyarakat untuk tumbuh ke arah kemajuan yang dinamis sebagai kendala. Akibat pengaturan kolonial tersebut bentuk dan corak pemerintahan desa masih beraneka ragam, masing-masing daerah memiliki ciri-cirinya sendiri yang dinilai merupakan hambatan untuk pembinaan dan pengendalian yang intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakatnya.
UU No. 5/1979 juga menyatakan, meskipun desa diberi hak untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, tetapi hak ini bukanlah hak otonomi. Dengan konstruksi tersebut jelas sekali bahwa UU No. 5/1979 lebih merupakan instrumen sentralisasi, penyeragaman, dan pengendalian atas kehidupan masyarakat desa. Kemajuan desa haruslah digerakkan dan dikendalikan dari luar atau atas, dalam hal ini oleh pemerintah nasional, dengan target yang ditentukan, dan diselenggarakan melalui proses-proses top-down dan sentralistis. Pemerintahan Desa cenderung diposisikan semata-mata sebagai instrumen program-program pemerintah pusat.
            Sejak tahun 1999 dengan semangat reformasi demokratisasi dan otonomi daerah, otonomi asli desa (atau sebutan lain yang dikenal dan berakar dalam masyarakat) hendak dihidupkan kembali sejauh tidak menghambat kemajuan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal, seperti hak asasi manusia. Dalam pemilihan kepala desa, misalnya, selain menegaskan bahwa kepala daerah dipilih secara langsung, UU No. 32/2004 pasal 203 ayat (3) menyatakan, “Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah” (garis bawah ditambahkan). Tentang masa jabatan kepala desa, meskipun undang-undang menentukan masa jabatan kepala desa adalah enam tahun, penjelasan pasal 204 menyatakan bahwa “masa jabatan kepala desa dalam ketentuan ini dapat dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan Perda. Secara demikian, sejak keruntuhan Orde Baru kita menganut paradigma pluralisme legal, sekurang-kurangnya dalam pengaturan pemerintahan daerah dan desa. Dengan paradigma ini sumber “tertib hukum (sosial)” tidaklah dimonopoli oleh negara. Hukum negara bukan satu-satunya sumber ketertiban yang sah, apalagi sarana rekayasa sosial yang efektif, sebagaimana lazimnya dianut dalam paradigma legalisme liberal. Dalam paradigma pluralisme legal masyarakat diandaikan juga mampu memroduksi “ketertiban hukum (sosial)”-nya sendiri. Maka, antarlingkaran-lingkaran “tertib hukum (sosial)” itu harus saling berinteraksi, bernegosiasi, dan saling mengakomodasi.
            Kalau mengikuti konstruksi undang-undang ini berarti desa tidak sekadar diperlakukan sebagai wilayah administrasi pemerintahan negara, melainkan juga kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya. Karena itu, pada diri kepala desa sesungguhnya terdapat status ganda, sebagai pejabat pemerintah sekaligus pemimpin utama dalam masyarakat tradisional dengan hak-hak tradisionalnya. Status ganda ini tercermin cukup jelas dalam pengaturan tentang wewenang dan kewajiban kepala desa sebagaimana ditentukan dalam PP No. 72/2005. Di antaranya, selain berwenang memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa, kepala desa juga berkewajiban mendamaikan perselisihan, serta mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat. (UU No. 22/1999 menyebut eksplisit bahwa kepala desa mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/sengketa dari para warganya sebagai hak asal-usul). Melekat dalam status ganda ini kiranya setiap kepala desa harus menjalankan peran mediasi dalam hubungan antara negara dan masyarakat desa: suatu peran yang sesungguhnya tidak ringan dan tidak selalu mudah dijalankan. Kalau digunakan bahasa UU No. 5/1979, kepala desa disebut sebagai “orang pertama mengemban tugas dan kewajiban yang berat, karena ia adalah penyelenggara dan penanggung jawab utama di bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan, dan urusan pemerintahan umum, termasuk ketenteraman dan ketertiban.”
            Status (sebagai orang pertama) pada umumnya memerlukan simbol-simbol dan penguasaan sumber daya untuk membiayai dan merawat statusnya tersebut. Pada masa lalu penguasaan tanah bengkok merupakan simbol status sekaligus sumber daya yang dapat membiayai status tersebut. Dan, secara tradisional status ini pada mulanya menjadi haknya untuk seumur hidup. Pembatasan masa jabatan baru mulai dikenal dalam UU No. 5/1989 yang rata-rata baru dapat diberlakukan secara efektif pertengahan 1980-an. UU No. 5/1979 menentukan masa jabatan kepala desa 8 (delapan) tahun, dan sesudahnya dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. UU No. 22/1999 pasal 96 menentukan, masa jabatan kepala desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan. Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan, daerah kabupaten dapat menetapkan masa jabatan kepala desa sesuai dengan sosial budaya setempat (garis bawah ditambahkan). Sementara itu, UU No. 32/2004 menentukan, masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Dari perkembangan pengaturan tentang masa jabatan kepala desa ini tampak sekali belum ditemukan rumusan yang benar-benar baku, dengan argumentasi yang kuat dan meyakinkan tentang masa jabatan kepala desa. Meskipun tidak begitu tegas, tampak ada kecenderungan untuk makin mengurangi masa jabatan kepala desa, yang barangkali dimaksudkan untuk mendinamisasi proses sirkulasi elite sekaligus meningkatkan akuntabilitas publiknya.
            Dalam rangka pemberlakuannya secara lebih operasional, UU No. 32/2004 kemudian diikuti dengan penerbitan PP No. 72/2005 tentang Desa. PP ini mempertegas dan merinci materi pengaturan dalam undang-undang, di antaranya mengenai wewenang desa; tugas, wewenang, kewajiban dan hak kepala desa; kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa; juga mengenai badan permusyawaratan desa.

Beberapa Permasalahan

            Pertama, penentuan masa jabatan. UU No. 32/2004 tidak memberikan penjelasan eksplisit mengapa masa jabatan kepala desa ditentukan enam tahun, mengapa tidak lima tahun, sama dengan masa jabatan bupati/walikota, gubernur, serta presiden. Mungkinkah penentuan masa jabatan enam tahun ini untuk menghindari pergantian kepala desa secara bersamaan dengan pemilihan kepala daerah? Kalau pun ini argumentasinya sesungguhnya juga tak begitu jelas dan kuat, mengingat hampir tak ada dalam satu daerah kepala desanya secara bersama-sama berakhir masa jabatannya. Argumentasi pembatasan untuk mendinamisasi sirkulasi elite sekaligus meningkatkan akuntabilitas publiknya juga kurang begitu jelas. Tingkat kontestasi antardaerah tidak selalu sama, adakalanya justru ditemukan desa-desa yang kesulitan mencari calon kepala desa. Sementara itu, dengan penentuan usia calon minimal 25 tahun memang dapat membuka kemungkinan tokoh yang sedang berada di puncak usia produktifnya, yang mungkin juga puncak popularitasnya tidak akan dapat dipilih kembali. Namun demikian, tuntutan para kepala desa yang berunjuk rasa agar masa jabatan diperpanjang hingga 10 tahun, dan selanjutnya dapat dipilih kembali sesungguhnya tidak didasarkan kajian dan argumentasi yang kuat juga. Tuntutan ini justru membuka peluang pelestarian kekuasaan. Karena itu, untuk sementara sesungguhnya belum ditemukan alasan yang kuat untuk mengamandemen undang-undang karena alasan pembatasan masa jabatan kepala desa. Ke depan, kalau memungkinkan, barangkali pantas dipikirkan pengaturan yang tidak harus seragam. Tetapi, kalau memetakannya dirasakan terlalu sulit ketentuan yang bersifat umum dapat tetap dipertahankan.
            Kedua, hak keuangan kepala desa. UU No. 32/2004 tidak secara jelas mengatur tentang hak keuangan kepala desa. Rambu-rambu yang diberikan sangat umum hanya menentukan bahwa belanja desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa; pengelolaan keuangan desa dilakukan oleh kepala desa yang dituangkan dalam peraturan desa; dan pedoman pengelolaan keuangan desa ditetapkan oleh Bupati/Walikota. PP No. 72/2005 mengatur kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa pada pasal 27 dan pasal 28. Pada pasal 27 ditentukan: (1) kepala desa diberi penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan desa, (2) penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya ditetapkan setiap tahun dalam APBDesa, (3) penghasilan tetap paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional Kabupaten/Kota. Pada pasal 28 ditentukan bahwa: (1) ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa diatur dengan Perda Kabupaten/Kota, (2) Perda tersebut sekurang-kurangnya memuat: (a) rincian jenis penghasilan, (b) rincian jenis tunjangan, dan (c) penentuan besarnya dan pembebanan pemberian penghasilan dan atau tunjangan.
            Pengaturan mengenai kedudukan keuangan yang dirinci ini, menggantikan sistem bengkok yang berlaku sebelumnya, pada umumnya dianggap sebagai penyebab menurunkan penghasilan kepala desa, sekaligus menghilangkan fungsi sosialnya, dibandingkan dengan sistem bengkok yang pemanfaatnya terikat pada tradisi masyarakatnya. Penurunan penghasilan kepala desa jelas kontradiktif dengan status kepala desa yang sedikit banyak hendak dipulihkan dalam konteks tradisionalnya.


Peran Gubernur

            Peran Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sangat terbatas. Peran itu terutama terdapat secara tidak langsung dalam fungsi pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat. Gubernur dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah pusat menurut pasal 217 UU No. 32/2004 dapat melaksankan pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan secara berkala, baik bagi kepala daerah/wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil, maupun kepala daerah. Pelaksanaan ketentuan tersebut dapat dilakukan melalui kerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau lembaga penelitian.

0 komentar:

Posting Komentar