Pages

gus dur

gus dur

Senin, 18 April 2011


POKOK-POKOK PIKIRAN TENTANG
FORMULASI MODEL SISTEM PEMERINTAHAN KAMPUNG
MENUJU KEMANDIRIAN


A.    PENDAHULUAN
“Semangat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 dalam kerangka reformasi pemerintahan kampung seharusnya menjadi landasan pemba-ngunan di Tanah Papua. Di Kabupaten Jayapura, telah dilancarkan berbagai strategi dan pendekatan pembangunan yang bermaksud mem-berdayakan masyarakat kampung, tetapi mengapa semuanya seolah ambruk ditengah jalan? Pertanyaannya kini adalah seberapa besar efek pemberdayaan dari berbagai program tersebut dapat menghantarkan masyarakat kampung mencapai harkat dan martabatnya pada tataran sejahtera lahir dan bathin ? Jawabannya adalah suatu pertanyaan, yaitu mengapa sistem pemerintahan kampung seolah tidak efektif dalam menjalankan program pemberdayaan tersebut ?”
Ada beberapa hal yang menarik didiskusikan dalam rangka mencari solusinya. Pertama, apakah sistem pemerintahan yang ada sekarang ini telah cukup representatif mencerminkan spesifikasi kebutuhan masyarakat dan hak-hak khusus masyakakat adat ? Kedua, Jika hal itu terkait dengan responsivitas masyarakat dalam mendukung bekerjanya sistem pemerin-tahan formal di Kampung, mengapa masih muncul resistensi terhadap pemimpin formal yang kemudian melahirkan dualisme pola anutan masyarakat yang mengedepankan kepemimpinan informal ? Ketiga,  Jika hal itu terkait dengan tingkat kepercayaan pemerintah daerah terhadap kapasitas pemerintahan kampung, mengapa Pemerintahan Kampung belum dapat mewujudkan prinsip-prinsip otonominya secara memadai ? Keempat, Jika benar bahwa solusi pembangunan adalah penerapan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 secara menyeluruh hingga ke strata masyarakat di Kampung, mengapa belum dilakukan penyelerasan sistem pemerintahan di kampung ?
Untuk menjawab soal di atas, tulisan ini akan dibagi menjadi empat bagian yaitu: Pada bagian pertama, dibahas tentang Otonomi Kampung, dalam konsepsi dan acuannya. Pada bagian kedua diutarakan tentang fenomena kampung kita pada masa kini dan agenda reformasi dalam rangka revitalisasi tata pemerintahan kampung masa depan. Pada Bagian ketiga, dideskripsikan secara singkat mengenai dualisme kepemimpinan pemerintahan kampung. Pada Bagian keempat, dicoba mengungkapkan model alternatif sebagai solusi mencari format tata pemerintahan kampung yang didasarkan pada kehendak menciptakan suatu sistem pemerintahan kampung yang kuat dan berwibawa.
Dalam rangka pembahasan keempat bagian tersebut digunakan dasar acuan legal-formal seperti : (a) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua; (b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999; (c) Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa; dan (4) Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura.
Tulisan ringkas ini disusun dengan maksud sebagai salah satu referensi dalam menghantarkan diskusi secara mendalam tentang format tata pemerintahan kampung di Kabupaten Jayapura yang menghargai penting-nya hak-hak khusus masyarakat kampung sesuai tatanan adat-istiadatnya, tanpa harus mengabaikan prinsip-pinsip hukum formal. Tujuannya adalah : (a). Menemukan berbagai ungkapan pemikiran yang cermat dan cerdas untuk memperkaya bahan-bahan perumusan model pemerintahan kampung berkelayakan; (b). Menemukan kerangka model pemerintahan kampung yang berkemampuan dalam menyelenggarakan berbagai program pemberdayaan masyarakat.
B.     OTONOMI KAMPUNG : APAKAH ITU ?
Pada hakekatnya, otonomi itu adalah wujud dari hak mengatur diri sendiri tanpa ada intervensi dari yang lainnya. Oleh karena itu, otonomi sesungguhnya tidak diberikan oleh siapa-siapa, karena bersumber dari diri kita masing-masing. Yang dibutuhkan adalah pengakuan formal atas hak-hak tersebut melalui suatu sistem regulasi yang mencerminkan kesempatan yang luas dan bertanggung jawab bagi pelaksanaan hak-hak itu. Jika hak-hak itu diakumulasikan ke dalam bentuk kehidupan sosial kemasyarakatan, maka lahirlah hak bersama sesuai tatanan sosial-budaya yang disepakati oleh suatu kelompok masyarakat. Tatanan sosial budaya yang demikian itu, kemudian diakui sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum (secara formal maupun adat). Maka terbentuklah suatu kesatuan masyarakat yang secara bersama-sama memperjuangkan eksistensi kelompoknya.
Dalam sistem pemerintahan, kelompok masyarakat tersebut diinteg-rasikan ke dalam sistem yang lebih luas yang mencakup bagian-bagian terendah dari strata pemerintahan, dengan berbagai macam sebutan : desa, nagari, kampung, dan sebagainya (saat ini di Tanah Papua disebut KAMPUNG). Di dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 disebutkan pada bab ketentuan umum pasal 1 huruf (L) bahwa :
Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota;
Sementara itu, di dalam ketentuan umum Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 angka 12 dan Peraturan Pemerintah Nomor : 72 Tahun 2005 angka 5 disebutkan bahwa :
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari kedua keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa otonomi kampung memiliki ciri pokok: (a) ada kesatuan masyarakat hukum yang didasarkan pada asal-usul dan adat istiadat; (c) ada wewenang meng-atur dan mengurus kepentingan masyarakat; (d) diakui oleh pemerintah.
·         Kesatuan Masyarakat Hukum
Di dalam suatu kelompok masyarakat, tebentuk norma-norma hukum-nya sendiri yang kemudian berproses, memperoleh pengakuan bersama sehingga berkembang menjadi suatu tatanan nilai yang dipatuhi. Pada konteks itulah, maka tatanan nilai tersebut dijadikan dasar acuan hidup bermasyarakat. Maka, kesatuan masyarakat hukum dimaksudkan sebagai justifikasi atas nilai-nilai adat-istiadat dari suatu kelompok masyarakat. Dengan demikian, maka suatu pemerintahan kampung hendaknya dilandasi oleh nilai-nilai adat-istiadat yang berlaku di dalam kesatuan masyarakatnya.
·         Wewenang Mengatur dan Mengurus
Untuk menjamin keteraturan pelaksanaan nilai-nilai adat-istiadat yang telah terbentuk tersebut dalam kehidupan sosial kemasyarakatan menuju kemandiriannya, maka diperlukan adanya otoritas. Dalam hal i ni, otoritas  pengaturan kepentingan masyarakat dipegang oleh orang atau badan pemerintahan kampung yang dipercayai oleh masyarakat. Terkait dengan itulah diperlukan adanya suatu sistem pemerintahan kampung. Maka, suatu sistem pemerintahan kampung seyogyanya mencerminkan tata nilai yang berlaku di dalam kesatuan masyarakatnya Agar wewenang tersebut dapat dijalankan secara efektif, diperlukan beberapa persyaratan, yaitu : (a) adanya sistem dan kelembagaan pemerintahan yang layak; (b) adanya pemimpin yang kuat dan berwibawa; (c) adanya dukungan masyarakat terhadap pemimpin dan kelembagaan pemerintahannya
·         Pengakuan Pemerintah
Sebagai bagian dari sistem pemerintahan yang lebih luas, pemerintahan kampung tetap membutuhkan pengakuan dari pemerintah Kabupaten/Kota, provinsi, dan bahkan negara. Pengakuan tersebut diwujudkan dalam bentuk pengaturan tentang sistem pemerintahan, misalnya Undang-undang atau peraturan di tingkat bawahnya, yang tidak mengebiri hak-hak dasar, hak-hak khusus kesatuan masyarakat di wilayah kampung itu.
C.    WAJAH KAMPUNG KITA : AGENDA MASA DEPAN
Berawal dari pemaknaan kampung sebagai suatu lembaga adat yang dilegalkan dengan dasar hukum formal, di mana kampung memililiki oto-nomi tetapi bukan merupakan daerah otonomi, telah menimbulkan keran-cuan format tata pemerintahan kampung. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 serta sejumlah peraturan di bawahnya menyiratkan makna bahwa daerah otonom itu hanya ada di Kabupaten/Kota, dan tidaksecara spesifik menyebut-kan di Desa atau sebutan lainnya. Bahkan, kampung dianggap sebagai bagian dari suatu wilayah administratif di bawah distrik, di mana bentuk dan susunan pemerintahannya ditentukan oleh Pemerintah Provinsi menurut ke-adaan dan adat masing-masing dan sesuai dengan hasrat dan kehendak pen-duduknya. Sementara itu, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 belum me-nunjukkan posisi spesifik dari bentuk pemeritahan kampung secara tersurat. Walau diakui bahwa kampung memiliki hak dan wewenang untuk mengurus pemerintahannya sendiri dalam arti luas, tetapi tidak sewenang-wenang.
Maka, agenda ke depan yang harus dilakukan untuk memperkuat posisi, eksistensi dan kemandirian kampung meliputi : Pertama, mereformasi bentuk pemerintahan; Kedua, merevitalisasi kewenangan asal-usul dan adat-istiadat; Ketiga, meredistribusi kewenangan pemerintahan kampung.
1.      Reformasi bentuk pemerintahan :
Seiring dengan dinamika perkembangan paradigma pemerintahan saat ini, kita perlu melakukan adaptasi Tata Pemerintahan Kampung yang dijiwai oleh Undang-undang  Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, di samping memperhatikan perundangan lainnya. Oleh karena Undang-undang  Nomor 21 Tahun 2001 telah mengamanatkan per-ubahan nomenklatur sebutan desa menjadi kampung, maka perlu ditindak-lanjuti dengan penyesuaian bentuk dan model pemerintahan. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini sama sekali tidak perbedaan bentuk dan model pemerintahan ketika masih disebut “desa” dan ketika diubah menjadi “kampung”. Padahal kehendak mengubah sebutan dari desa ke kampung dijiwai oleh kehendak merealisasikan akomodasi “asal-usul dan adat-istiadat” setempat. Maka, ke depan susunan tata pemerintahan kampung haruslah mencerminkan isi dari kehendak tersebut.
2.      Revitalisasi Kewenangan asal-usul dan adat-istadat: Revitalisasi kewe-nangan asal-usul selalu diperjuangkan oleh pemimpin adat -- selama ini seringkali difalisiltasi oleh lembaga-lembaga non-pemerintah, lebih ber-sandar pada sejarah masa lampau. Salah satu aspek krusial dalam hal ini adalah peneguhan entitas lokal sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak-hak khusus, seperti : kepemilikan terutama tanah dan hak ulayat yang selama sering muncul kepermukaan. Dalam konteks peme-rintahan kampung, kewenangan asal-usul dan adat istiadat tersebut harus diberi diterjemahkan dalam fungsi-fungsi pokok pemerintahan untuk diperankan secara konsisten oleh pemerintah kampung.
3.      Redistribusi Kewenangan : kontribusi kewenangan pemerintahan kampung hendaknya beriring dengan otonomi dalam konteks desentralisasi. Semua kewenangan yang sudah diatur dalam PP 76/2001 jo PP 72 Tahun 2005 merupakan bagian dari pengakuan pemerintah terhadap kewenangan dari suprastruktur kampung. Maka, pada konteks ini berlaku sistem pembagian kewenangan secara vertikal antara pemerintahan kampung dan peme-rintahan kabupaten/kota, provinsi, bahkan negara, sehingga masih dikenal juga fungsi tugas pembantuan. Walaupun dinyatakan bahwa Pemerintan Kampung berhak menolak tugas pembantuan tersebut dengan alasan yang dapat diterima. Sementara itu secara horizontal, Kepala kampung dibantu oleh Badan Permusyawaratan Kampung (Bamuskam) sebagaimana disebut-kan di dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 5  (7) bahwa di kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung atau dapat disebut dengan nama lain, dimana Badan Musyawarah Kampung adalah sekum-pulan orang yang membentuk satu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur di dalam kampung tersebut serta dipilih dan diakui oleh warga setempat untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Kampung. Distribusi kewenangan dilakukan secara jelas dan tegas sehingga tidak menimbulkan kesalahan interpretasi yang dapat menimbulkan kerancuan. Menarik untuk mencermati visi-misi Gubernur Provinsi Papua yang me-ngedepankan kembali konsep kepemimpinan 3(tiga) tungku, yang mem-berikan pengakuan terhadap eksistensi : kepala kampung, kepala adat, dan pimpinan agama. 

Ketiga agenda di atas membutuhkan ancangan penguatan capacity building, terutama mencakup :
·         Kapasitas kelembagaan pemerintahan kampung (Pemerintah Kampung dan Badan Permusyawaratan Kampung)
·         Kapasitas kelembagaan sosial kemasyarakatan (termasuk karang taruna, kepemudaan, perempuan, dan lembaga-lembaga pemberdayaan lainnya), kelembagaan adat, dan kelembagaan keagamaan,
·         Kepemimpinan pemerintahan dan kesadaran politik masyarakat kampung
Sebagai bandingan, berikut ditampilkan beberapa indikator tata peme-rintahan terpilih menurut masa berlakunya peraturan pemerintahan desa :

Indikator
Undang-undang  dan Peraturan Pemerintah
No 5/79
No. 22/99
(PP 76/2001)
No.32/2004
(PP 72/2005)
No.21/2001
Peran Negara
Kental/dominan
Kental/dominan
Mulai longgar
Longgar
Eksekutif
Kepala Desa
Kepala Desa
Kepala Desa
Kepala Kampung
Legislatif
LKMD/LMD
LKMD/BMD
BPD/Baperkam
Bamuskam



Kedudukan
Kepala Desa dan LKMD/LMD berada dalam satu tangan, Kepala Desa adalah Ketua LKMD  yang men dominasi LKMD/LMD


Ada pemisahan fungsi Kepala Desa dan BPD



Ada pemisahan fungsi Kepala Desa dan BPD



Ada pemisahan fungsi Kepala Desa dan Bamuskam


Peranan Desa
Desa sebagai unit administrasi
Desa sebagai unit administrasi
Desa sebagai unit pemerintahan oto-nom yg diintervensi
Desa sebagai unit pemerintahan otonom

Kedaulatan Masyarakat


Kedaulatan rakyat tersumbat
Sedikit Terbuka
Terbuka

Rakyat memiliki kedaulatan sejati
Penentuan Pemimpin
Legislatif

Tanpa musyawarah
dan pemilihan, tapi penunjukkan kades
Pemilihan melibat-kan masyarakat
Pemilihan melibat-
kan masyarakat
Pemilihan melibat-kan masyarakat
Kedudukan Kepala Desa
Sebagai ketua
dan mendominasi LMD
Lepas dari
organisasi BPD.
Lepas dari
organisasi Baperkam
Lepas dari Orga-nisasi Bamuskam

Keterlibatan masyarakat
Masyarakat tidak
terlibat. Hanya
sedikit elite desa
yang terlibat.
Masyarakat terlibat memilih, tapi kurang
terlibat dalam proses pembuatan
keputusan.
Masyarakat digalak-kan partisipasi ma-syarakat secara aktif dalam pengelolaan pembangunan
Masyarakat diber-dayakan secara aktif dalam menge-lola pembangunan

D.    PEMERINTAHAN FORMAL VERSUS INFORMAL
Munculnya fenomena dualisme pemerintahan di Kampung saat ini lebih disebabkan tidak terintegrasikannya asal-usul dan adat-istiadat kesatuan masyarakat kampung ke dalam konfigurasi tata pemerintahan formal. Hal ini terkait dengan acuan perundang-undangan yang berlaku, yang secara otomatis memaksa terbentuknya konfigurasi tersebut. Walaupun secara eksplisit disebut-kan bahwa ada kewenangan mengatur dan mengurus sendiri kepentingan masyarakat, tetapi dalam tata susunan struktur dan fungsi pemerintahannya secara implisit masih lebih banyak mengakomodasi kepentingan pemerintah. Akibatnya, muncul kekaburan hubungan antara pemerintahan formal dan informal (Kepala kampung dan Kepala adat), dan sekaligus munculnya ke-bingungan masyarakat karena tidak jelasnya orientasi panutan serta mening-katnya resistensi terhadap pemerintahan formal dengan resiko rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.


 






Terhadap hal tersebut, jalan tengah yang ditempuh selama ini tidak cukup membawa hasil yang memuaskan semua pihak. Pendekatan koordinasi antara kedua sumber otoritas tersebut, justru menimbulkan kekacauan sistem, karena koordinasinya tidak dibangun secara sinergis melainkan terkesan hanya “tambal sulam”, dan bagaimanapun bangunan koordinasi tersebut tidak dimaksudkan untuk mengurangi intervensi pemerintah. Sistem koordinasi yang demikian itu, sangat rapuh, karena tidak disertai pengaturan formal mengenai pembagian tugas dan fungsi yang jelas, serta distribusi wewenang dan tanggung jawab yang jelas. Maka, dalam kesehariannya, kedua sumber otoritas tersebut hanya disibukkan pada “saling curiga” satu sama lain. Kepala kampung lebih memberikan justifikasi perannya sebagai bagian dari admi-nistrasi pemerintahan dari distrik, dan bukan sebagai pemerintahan yang otonom. Sementara itu, Kepala Adat, tidak memiliki justifikasi formal untuk menjalankan kekuasaan yang otonom sesuai dengan asal-usul dan adat-istiadatnya.

E.     MODEL PEMERINTAHAN KAMPUNG : ALTERNATIF TERSARAN
Sebagai bagian dari upaya Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat sebagaimana disebutkan di dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 43, bahwa :
1.      Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.
2.      Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masya-rakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
3.      Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 telah diatur urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa yang mencakup mencakup 3 hal yaitu :
1.      Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa.
2.      Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa.
3.      Tugas pembantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan yang diserahkan kepada Desa.
Maka, berdasarkan pokok pikiran di atas, dan dengan memper-hatikan situasi dan kondisi masyarakat serta peraturan perundangan yang berlaku, berikut ini diusulan 3(tiga) model pemerintahan kampung untuk didiskusikan secara mendalam. Tentu saja model-model tersebut sangat terbuka untuk direformulasikan kembali.
1.      Model Konsep Pemerintahan “Instersepsi”
Model ini didasarkan pada konfigurasi pemerintahan kampung yang berlaku saat ini dengan intersepsi pengaruh pada lembaga Baperkam, di mana unsur-unsur Baperkam berasal dari kalangan adat, agama, perempuan, dan pemuda. Komposisi jumlah keaanggotaannya secara seimbang yang dipilih oleh masyarakat berdasarkan komptensi dan kapasitasnya. Penanganan budaya dan adat-istiadat diintersepsikan ke dalam tugas dan fungsi Baperkam. Kepala Kampung dipilih secara demokratis oleh rakyat dari unsur mana saja
Model 1. Konsep Pemerintahan Intersepsi

 






2.      Model Konsep Pemerintahan “3 Tungku”
Model ini, mencoba mengkonfigurasikan kembali visi Gubernur Provinsi Papua saat ini yang pernah populer pada tahun 90an, di mana fungsi-fungsi pemerintahan diperankan oleh 3(tiga) pihak dengan batas-batas kewenangan-nya masing-masing, yaitu : Kepala Kampung dan perangkatnya, Kepala Adat, dan Pimpinan Lembaga keagamaan. Dalam implementasinya, lembaga keagaman lebih berperan sebagai mediator antara Kepala Kampung dan Kepala Adat untuk urusan-urusan pemerintahan. Dengan formasi model ini, tampak ada jaminan yang lebih besar terhadap akomodasi asal-usul dan adat-istiadat masyarakat dalam sistem pemerintahan kampung.
Sama halnya dengan model pertama, pemerintahan kampung terdiri dari Kepala Kampung dan Badan Permusyawaratan Kampung yang memiliki kedudukan seimbang. Bahkan Baperkam dapat dijelmakan sebagai Majelis Rakyat Kampung, yang keanggotaanya dipilih oleh masyarakat dari unsur-unsur : adat, agama, perempuan, dan pemuda. Sementara itu, Kepala Kampung dipilih secara demokratis oleh rakyat dari unsur mana saja, sedangkan lembaga mediasi ditunjuk oleh lembaga agama yang berwenang.
Model 2. Konsep Pemerintahan 3 Tungku


 









3.      Model Konsep Pemerintahan “Afiliasi”
Model ini mencoba menunjukkan posisi Kepala Adat secara totalitas dalam tata pemerintahan formal di kampung. Dengan memposisikan Kepala Adat sebagai Kepala Kampung, dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang kuat bagi tingginya partisipasi masyarakat dalam mendukung jalannya roda pemerintahan dan suksesnya pembangunan di kampung.
Model 3. Konsep Pemerintahan Afiliasi


 






Dengan demikian, afiliasinya menjadi jelas terarah pada kepentingan masyarakat kampung. Agar model ini dapat diimplementasikan, maka diperlukan suatu aturan khusus dalam sistem pemilihannya. Diperlukan tatacara pemilihan yang demokratis, tanpa harus mengebiri prinsip-prinsip demokrasi itu. Misalnya saja, meminjam model rekruitmen kepemimpinan dari suatu Partai yang menggunakan sistem konvensi dalam menentukan siapa-siapa saja yang direkomendasikan maju ke pemilihan Kepala Kampung.
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, dibantu oleh Bamuskan dengan komposisi sama dengan kedua model terdahulu.
F.      PENUTUP
Demikianlah pokok-pokok pikiran ini diajukan dalam kesempatan seminar dan lokakarya ini semoga ada manfaatnya, minimal untuk meng-hantarkan para peserta mencari solusi terbaik, karena apapun yang diungkap-kan dalam tulisan ini sama sekali belumlah merupakan solusi terbaik.
Akhirnya, perlu diingatkan kepada kita semua untuk :
1.      Model apapun yang terpilih hendaknya memposisikan pemerintahan kampung sebagai pemerintahan yang otonom secara rill dan bertanggung jawab. Peluang pemerintah Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Negara untuk ikut serta membangun kampung tetap terbuka lebar tetapi sama sekali tidak melakukan intervensi terhadap tata pemerintahannya. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 pasal 10 ayat (3) bahwa Desa berhak menolak melaksanakan tugas pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana dan sarana, serta sumber daya manusia.
2.      Di wilayah kesatuan masyarakat hukum yang bersifat heterogen, perlu dipikirkan untuk dialihkan statusnya menjadi kelurahan (misalnya di kesatuan masyarakat transmigrasi) dengan memperhatikan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan.
3.      Perlu direkomendasikan usul penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Pemeritahan kampung berdasarkan UU 21 Tahun 2001, Usul penerbitan Perdasus tentang Pemerintahan Kampung, dan Usul revisi Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura sesuai jiwa UU 21 tahun 2001.




0 komentar:

Posting Komentar